Jumat, 30 Oktober 2015

Sebuah tradisi pesisir utara ; lopis raksasa dan balon terbang

Dentuman suara mercon bersahutan ibarat bom stuka jerman sedang dijatuhkan pasukan luhtwafe nazi, ratusan balon raksasa beterbangan membawa mercon yang meledak diudara, pemandangan ratusan balon beterbangan tersebut seperti  pasukan terjun payung airborne 101 amerika yang sedang diterjunkan di perbatasan sungai rhine, suara yang berdentum seakan kita sedang menikmati fragmen PD II, kemeriahan inilah yang sedang dinikmati dan diselenggarakan warga pekalongan jawa tengah.
Seminggu setelah hari raya idul fitri dinamakan syawalan oleh warga pekalongan. Mulai pukul 6 pagi warga sudah menaikan balon raksasa yang berkisar seharga 200rban, yang menarik adalah hadirnya lopis raksasa didaerah slamaran. Memang ini hanyalah sebuah tradisi namun sangat membawa arti dan manfaat bagi warga pekalongan, setidaknya sebagai rasa syukur kepada Tuhan. Tradisi apapun harus kita jaga karena kita hidup dan besar di indonesia, kita ini satu indonesia yang bhineka jadi jagalah warisan budaya kita seperti nenek moyang kita menciptakannya

Javanese Canon Howitzer ; Meriam Bumbung

Inilah salah satu dolanan yang menjadikan anak anak indonesia gak asing lagi jika masuk kedalam TNI, banyak dolanan waktu kecil yang melatih jiwa ksatria diantaranya meriam bumbum kelak jika anak anak masuk dalam TNI pastinya tidak asing lagi jika masuk dalam divisi ARMED, banyak dolanan lainnya seperti tulupan, pak pak dor, bedil bedilan, panahan, yang melatih ketangkasan serrta kesatrian sang anak. hehehehe...
Siapa yang waktu kecil mainan meriam ini cung??
jadi inget dulu bapak buatin meriam ini dari sebatang bambu yang dilubangi bagian atasnya untuk sumbunya,dentumanya gak kalah dengan meriam beneran.

Mercon Bumbung
Begitulah orang biasa menyebutnya,berbahan dari batang bambu.Meriam bambu atau 'mercon bumbung' biasa dimainkan anak-anak desa untuk mengisi waktu menjelang saat buka puasa. Kadang juga berlanjut lepas maghrib sambil menunggu waktu isya untuk tarawih bersama.

Dipilih dari bambu yang sudah tua dan berkulit tebal agar tahan dari  tekanan dan suaranya nyaring. Agak rumit menggambarkannya.Namun secara gampang, mercon bumbung ini bekerja layaknya meriam betulan. Kecuali yang membedakannya adalah bahan baku dan bahan bakarnya.
Jika meriam betulan menggunakan bubuk mesiu, meriam bambu ini cukup dengan minyak tanah atau campuran karbit dan air untuk menghasilkan suara yang keras..Boomm!!!.Kadang Ane pake campuran solar juga gan biar makin nyaring 

Bambu yang telah di potong kemudian diberi lubang kecil pada pangkal bambu yang berfungsi sebagai saluran udara dan sebagai tempat untuk memantikkan api.

Sebelum disulut api, bambu di posisikan mendongak keatas. Kemudian diisi dengan karbit yang dicampur air. Setelah kedua bahan itu di masukkan, semua lobang ditutup rapat hingga mencul uap panas.
Saat itu mercon bumbung disulut dengan api. Tekanan didalam bambu itulah yang melahirkan suara seperti meriam.

Meriam Bambu tidak bisa langsung berbunyi dengan keras, karena harus dipanasi terlebih dahulu, caranya adalah dengan memasukkan api kedalam lubang pengisian yang sudah dibuat sebelumnya lalu membuang asap dengan meniup lubang kecil tersebut. Dibutuhkan waktu kira-kira 10 menit untuk memanaskan Minyak dan Meriam agar bisa meledak. Setelah mulai panas, dan ketika api dimasukkan ke dalam lubang, maka akan terdengan bunyi menggelegar.
 
Yang ane heran dibulan laen sesudah lebaran maenan macem beginian seakan hilang ditelan bumi  Tapi jaman sekarang juga udh mulai berkurang yang maen beginian soalnya tergeserkan oleh mainan yang lebih modern .Padahal kita harus melestarikan budaya tradisional seperti ini.

The Best Qorri Ustadz H. Muammar Z.A. ; Wong Moga Pemalang Kiye

Sumber : Kementerian Agama RI


Al-Quran Membawaku Keliling Dunia

Suaranya yang merdu dalam melantunkan Al-Quran, mengantarkannya ke berbagai pelosok bumi. Mulai dari lereng gunung, lembah, ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan ke dalam Kakbah. Lantunan suaranya mengalun, mulai dari bawah tenda-tenda sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja.

Malam baru saja beranjak, ketika sesosok pria yang masih terlihat muda menaiki panggung dan duduk di kursi yang disediakan. Usai salam dengan suara rendah cenderung serak, pria berperawakan ramping itu mulai membaca taawudz dan basmalah. Dengan mata setengah terpejam, perlahan, ia mulai mengalunkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan irama bayati, lagu pembuka qiraah yang bernada rendah.

Perlahan tapi pasti suara itu meningkat, terkadang melengking tinggi, melantun panjang. Di depannya, ratusan orang bagaikan tersihir, terkesima mendengarkan lantunan suaranya yang naik-turun mengirama, bagaikan gelombang ombak yang susul-menyusul menghampiri pantai. Tak jarang, setiap kali alunan suaranya berhenti untuk mengambil napas, puluhan kepala, seperti tersadar dari hipnotis, segera menggeleng takjub.

Ia memang legenda. Meski Musabaqah Tilawatil Quran secara rutin digelar di berbagi tingkatan, belum ada satu pun yang menyamainya. Hampir semua umat Islam Indonesia, terutama di pedesaan, jika ditanya siapakah qari yang paling dikenal di Indonesia, jawabnya pasti Ustadz H. Muammar Z.A.

Suaranya yang merdu serta keindahan iramanya dalam melantunkan Al-Quran begitu termasyhur. Kelebihan ini pula yang mengantarkannya ke berbagai pelosok bumi. Mulai dari desa-desa di lereng gunung, tepi lembah dan ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan mengantarkannya masuk ke dalam Kakbah. Lantunan suaranya yang khas mengalun, mulai dari bawah tenda-tenda sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja. Ia penah mengaji di istana Raja Hasanah Bolkiah, istana Yang Dipertuan Agong Malaysia, sampai istana raja-raja di Jazirah Arab.

Awal Juli, Alkisah mengunjungi pria kelahiran Pemalang ini di kediamannya di depan Masjid Al-Ittihad, di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ayah satu putri dan empat putra ini bertutur renyah, diselingi tawa segar.

Naik Tandu
Saya ini anak kampung yang beruntung bisa keliling dunia, bisa mengaji saat jemaah haji wukuf di Padang Arafah dan saat bermalam di Mina. Bahkan, pada tahun 1981, saya diberi kesempatan masuk ke dalam Kakbah, tuturnya haru. Wah, nggak kebayang sebelumnya. Di dalam Kakbah saya cuma bisa tertunduk, menangis. Saya nggak berani mengangkat wajah dan memandang langit-langit.

Lebih dari 25 tahun, Muammar melanglang buana, melakukan perjalanan yang menurutnya sangat mengasyikan. Dalam menghadiri undangan mengaji, ia pernah mencoba berbagai kendaraan, dari mulai naik pesawat pribadi, pesawat komersial, limousine, ojek, sampai tandu. Medan pegunungan Jawa Barat, tuturnya, yang paling sering membuatnya ditandu. Sementara pedalaman Kalimantan dirambahnya dengan glotok, ojek perahu mini yang mampu menjangkau sungai-sungai kecil di pedesaan.

Suatu ketika, ceritanya, ia diundang mengaji di beberapa tempat di daerah Garut. Qari yang puluhan kasetnya masih terus dicari orang ini menempuh perjalanan Bandung-Garut-Cikajang-Singajaya dengan kendaraan roda empat. Namun perjalanan berikutnya yang naik-turun gunung harus dilaluinya dengan ojek, dan terakhir jalan kaki menyusuri jalan setapak.

Kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Muammar tidak mampu lagi berjalan. Panitia yang mengawalnya pun berinisiatif untuk menyewa tenaga orang kampung untuk menandunya sampai di lokasi pengajian. Setelah berjalan kaki selama empat jam, ia pun tiba. Dan yang membuat semangatnya bangkit kembali, ternyata, ratusan hadirin masih dengan setia menunggu kehadirannya.

Sampai di tempat pengajian jam dua belas malam, saya langsung mengaji, kenang pangasuh Pesantren Ummul Qura, Cipondoh, ini. Selesai mengaji, jam setengah dua, kami turun. Sampai di kota Garut jam setengah delapan pagi.

Tidak sekali-dua kali perjalanan seperti itu dilakoninya. Belum lama ini, untuk kesekian kalinya, Muammar menghadiri undangan ke Cianjur bagian selatan, daerah Cikendir, yang juga harus dilalui dengan jalan kaki berjam-jam di jalan setapak berlumpur. Pulangnya, ia kelelahan. Dan akhirnya, lagi-lagi, ditandu.
Ia memang tidak pernah memilih-milih tempat atau pengundang. Baginya, selama ada waktu, dan kondisi fisiknya memungkinkan, pasti dengan senang hati ia akan hadir. Dari koceknya ia membayar sekitar 500 ribu kepada para pemandunya.

Niat saya itu kan berkhidmah, tutur Muammar dengan rendah hati. Istana, saya datangi. Pelosok kampung pun, saya kunjungi.

Ia meyakini, ia bisa terus mengaji. Dan kariernya terus langgeng seperti sekarang ini, antara lain, berkat doa orang-orang yang tinggal di pelosok desa dan pegunungan yang pernah dihadirinya mereka itu. Mereka itu betul-betul ikhlas, baik, dan jujur, katanya tulus.

Bayangkan, untuk menghadiri pengajian saya, mereka sampai harus berjalan puluhan kilometer. Bahkan ada yang membawa bekal dan kompor, serta masak di perjalanan.

Dalam perjalanan berkhidmah ini pula, Muammar pernah mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Cirebon menjelang tahun 1990-an. Mobilnya hancur dan ia pun terluka parah. Cukup lama ia harus menginap di rumah sakit. Saat itulah Muammar merasakan kedekatan dengan para ulama yang bergiliran menjenguknya. Tak jera, setelah pulih ia pun kembali menjelajahi pelosok tanah air, untuk melantunkan firman-firman Tuhannya.

Sejak Belia
Meski masih terlihat cukup muda, Ustadz Muammar tahun ini menginjak usia 51 tahun. Ia dilahirkan di Dusun Pamulihan, Warungpring, Kecamatan Moga, sekitar 40 kilometer selatan ibu kota Kabupaten Pemalang, dari pasangan H. Zainal Asyikin dan Hj. Mukminatul Afifah, ulama dan tokoh masyarakat di desanya. Muammar adalah anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Namun hanya sembilan yang masih hidup. Belakangan, adiknya, Imron Rosyadi Z.A., juga mengikuti jejaknya menjadi qari nasional setelah menjuara MTQ. Adiknya yang bungsu, Istianah, kini menjadi salah satu anggota DPRD Tingkat I Yogyakarta.

Muammar mengenal qiraah sejak belia. Ia memang berasal dari keluarga qari. Ayah dan kakak-kakaknya dikenal bersuara merdu. Sang ayah adalah pemangku masjid di dusunnya, yang setiap akhir malam melantunkan tarhiman, shalawat dan puji-pujian untuk membangunkan orang-orang guna mendirikan Shalat Shubuh.

Waktu kecil, ia, bersama teman-temannya, belajar seni baca Al-Quran dari teman lain yang lebih besar, yang kebetulan menguasai beberapa lagu. Di samping itu Muammar mulai keranjingan terhadap qiraah, belajar secara serius pada kakaknya, Masykuri Z.A. Namun karena kakaknya tinggal di sebuah pesantren yang cukup jauh dari desanya, pelajarannya baru akan bertambah jika Masykuri pulang ke rumah ketika liburan.
Namun demikian bakat Muammar mulai kelihatan. Tahun 1962, ia menjuarai MTQ tingkat Kabupaten Pemalang untuk tingkat anak-anak, mewakili SD-nya.

Waktu itu saya masih memakai celana pendek saat mengaji, he he he, kenang Muammar.
Sekitar awal tahun 60-an, suara dan lagunya memang sudah mulai bagus, meski hafalan suratnya masih terbatas. Ia sudah mulai diundang untuk mengaji di acara-acara pengajian atau pengantinan di kampungnya. Dan lucunya, ayat yang dibaca itu-itu saja. Ketika kakaknya pulang dari pesantren, barulah hafalan ayat dan lagunya bertambah.

Selepas SD, Muammar sempat nyantri di Kaliwungu, Kendal, sebelum melanjutkan ke PGA di Yogyakarta. Selesai PGA, ia sempat juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Di Kota Gudeg, ia melanjutkan kiprahnya di bidang seni baca Al-Quran. Muammar mengikuti MTQ tingkat Provinsi DIY yang diadakan oleh Radio Suara Jokja tahun 1967. Ia berhasil menyabet juara pertama untuk tingkat remaja. Tahun-tahun berikutnya, Muammar ikut lagi dan kembali juara. Tahun itu juga, ia mewakili DIY ikut MTQ tingkat nasional di Senayan tingkat remaja, namun ia belum meraih juara.

Sejak itu, Muammar menjadi langganan tetap kontingen DIY di MTQ Nasional, tahun 1972, 1973, dan seterusnya. Tahun 1979, ia bahkan terpilih menjadi anggota kontingen Indonesia di sebuah haflah, semacam MTQ internasional, yang diselenggarakan di Mekkah. Gelar juara nasional pertama kali diraihnya di MTQ Banda Aceh tahun 1981. Kali ini ia mewakili DKI Jakarta. Muammar yang saat itu tengah belajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Ciputat, mendapatkan hadiah sebuah televisi. Pemerintah Provinsi DKI sendiri kemudian memberi tambahan bonus hadiah, ibadah haji.

Namun, tidak seperti kariernya di bidang tarik suara, dalam pendidikan Muammar mengakui kurang berhasil. Kuliahnya di PTIQ yang tinggal skripsi tidak selesai. Waktu itu, kata sang qari, ada perubahan peraturan yang agak mendadak. Jika semula syarat ujian skripsi itu hafal lima juz Al-Quran, tiba-tiba diubah menjadi 30 juz.
Wah, saya nggak siap, ujar Muammar jujur. Meskipun demikian, uniknya, setelah menjadi juara nasional dan qari internasional, ia justru diminta mengajar di sana.

Tidak Berpantang
Ditanya mengenai rahasia suaranya, suami Syarifah Nadiya ini dengan serius mengatakan tidak mempunyai resep rahasia apa pun. Dalam hal-hal seperti itu, saya cenderung rasionalis, ungkap Muammar. Saya nggak begitu percaya pada hal-hal begituan, seperti nggak boleh makan ini-itu, harus cukup tidur, atau harus tidur jam segini. Bahkan saya jarang tidur lho, apalagi sebelas hari ini saya selalu pulang pagi.

Ia pun mengakui, meski dulu pernah sekali ikut-ikutan mencoba, tidak berani ikut gurah. Saya nggak berani ikut, katanya. Apalagi yang enggak jelas. Karena, salah-salah malah merusak pita suara. Kalau cuma melegakan, mungkin ya. Tapi kalau dipaksakan begitu lalu saraf tenggorokannya putus, kan malah jadi penyakit, he he he. Sebenarnya, kata Muammar, kalau memahami tata cara wudu yang benar dan menerapkannya, itu juga sudah menjadi gurah. Misalnya ketika istinsyaq, memasukkan air ke hidung lalu mengeluarkan lagi dengan keras.

Disinggung bagaimana kiatnya menjaga suara, qari yang pernah diundang mengaji di istana Yang Dipertuan Agong Malaysia dan Sultan Hasanah Bolkiah, Brunei, ini mengaku hanya memasrahkan diri kepada Allah. Niat saya mau ngaji lillaahi taala, Ya Allah, tolong saya. Namun yang pasti, setiap bangun tidur ia selalu melakukan warming up, pemanasan, dengan rengeng-rengeng, menggumamkan nada-nada tilawah. Demikian juga ketika akan mengaji. Menurutnya ini penting, untuk menghindari kaget.

Berbeda dengan para penyanyi yang banyak mempunyai pantangan, terutama makanan dan minuman, Muammar menyantap hampir semua makanan dan minuman yang disukainya. Bahkan, makanan kesukaannya adalah sambel, lalap, dan ikan asin, yang harus selalu ada di meja makannya.

Saya hanya memastikan, ketika saya mau ngaji, kondisi badan saya fit, ungkapnya, berbagi resep. Baru kemudian, kunci terpentingnya adalah mengaji dengan ikhlas dan perasaan senang.

Bagi Muammar, mengaji dengan ikhlas dan senang hati itu menjadi hiburan dan kenikmatan tersendiri. Maka, tak mengherankan, setiap kali melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, ia tampak begitu menikmati. Terkadang matanya setengah terpejam, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Pokoknya saya dengerin sendiri, karena memang pada dasarnya saya suka. Itu, menurutnya, membuatnya mampu mengaji minimal setengah jam, jika di dalam kota. Karena mereka kan sering ketemu saya. Tapi kalau di luar kota, terlebih di luar Jawa, saya bisa satu jam, bahkan lebih.

Dalam satu hari biasanya ia mengaji di tiga sampai empat tempat. Di beberapa tempat, terkadang ia juga berceramah, biasanya jika mubalignya tidak datang. Mengaji itu pula yang mempertemukannya dengan sang istri tercinta, ketika sang pujaan hati yang dinikahinya pada tahun 1984 itu duduk dalam kepanitiaan sebuah pengajian di Kemanggisan. Buah pernikahan dengan wanita berdarah Aceh itu kini sebagian telah beranjak remaja.
Lia Fardizza, putri sulung qari yang pernah berguru kepada Syekh Abdul Kholil Al-Mishri, qari besar Negeri Piramid, kini menginjak semester ketiga di London School, jurusan bahasa Inggris. Sejak TK, Lia memang gandrung dengan bahasa internasional tersebut, terlihat dari hobinya membaca komik-komik berbahasa Inggris. Belakangan ia juga gemar mendendangkan lagu-lagu Barat. Tidak mengherankan, dialek lisannya, menurut Muammar, cenderung ke Amerika.

Putra-putranya, Ahmad Syauqi Al-Banna, kini duduk di kelas 3 SMU, Husnul Adib Al-Hasyim kelas 2 SMP, Raihan Al-Bazzi, kelas 4 SD, dan si bungsu Ammar Yuayyan Al-Dani, kelas 3 SD. Di antara lima anaknya, tiga di antaranya mewarisi keindahan suara sang ayahanda, Lia, Raihan, dan Ammar. Namun karena keterbatasan waktu serta kesibukan Muammar, diakuinya, potensi putra-putrinya itu belum tergarap.

Menurutnya, qari yang baik itu harus memiliki suara yang bagus, napas panjang, penguasaan lagu, dan dialek yang bagus. Dan, membentuk dialek itu tidak gampang. Orang Jawa, misalnya, akan cukup sulit mengucapkan huruf ba dengan benar. Ia sendiri mengaku cukup lama mempelajari dialek Al-Quran dengan memperhatikan dialek qari-qari dari Mesir, Arab, dan daerah Timur Tengah lainnya.

Qari lokal yang bagus, menurut Muammar, biasanya yang berasal dari pesantren Al-Quran yang kebetulan pengasuhnya juga seorang qari mumpuni. Ini karena sang kiai biasanya mempunyai kelengkapan ilmu qiraah dan kepekaan, maka pembelajaran qiraahnya juga dilengkapi dengan ilmu tajwid, makharijul huruf (ilmu pelafalan huruf Al Quran), dzauq (cita rasa bahasa), dan sebagainya.

Dari Pedesaan
Karena itulah, sejak empat tahun Muammar memulai pembangunan sebuah pesantren di daerah Cipondoh, yang dinamakannya Ummul Qura. Karena seorang qari, ia bercita-cita menyebarkan tradisi qiraah ini melalui pesantrennya ini, sebagai sumbangan pada bangsa. Kalau Allah mengizinkan, kata Muammar, saya ingin mencetak Muammar-Muammar baru. Melalui lembaganya itu pula, ia mengharapkan, seni baca Al-Quran akan kembali dicintai dan dikagumi umat Islam.

Muammar bercita-cita membangun sebuah lembaga pendidikan yang komprehensif, mulai dari TK, SD, SMP, sampai SMA yang mempunyai nilai plus, Al-Quran. Ia mengharapkan bisa membekali santrinya dengan kelengkapan ilmu-ilmu Al-Quran, baik tajwid, qiraah, dasar-dasar tafsir, maupun tahfidz-nya (hafalan Al-Quran). Paling tidak, targetnya setamat SD atau SMP para santri akan mampu membaca Al-Quran dengan fasih, baik, dan benar.

Terlebih dengan lingkungan yang Islami di pesantren, setidaknya mereka akan mempunyai pegangan hidup.
Pada tahap awal, sudah dibangun sebuah masjid, ruang baca, dan dua buah gedung asrama. Ke depan ia ingin membangun sekolah formal dulu, baru kemudian akan diasramakan. Namun, karena keterbatasan dana, sementara ini pembangunan Pesantren Ummul Qura tersebut tersendat.

Tanggal 22 Juli kemarin di Gorontalo diselenggarakan Seleksi Tilawatil Quran tingkat nasional. Namun, tidak seperti pada dasawarsa 80-an, event empat tahunan yang diselenggarakan untuk menjaring bibit-bibit baru qari dan qariah serta penghafal dan mubaligh berbasis Al-Quran ini sepertinya tak lagi memiliki gaung.
Akhir-akhir ini semangat mendalami seni membaca Al-Quran di masyarakat kita ini memang cenderung mengalami penurunan, tutur qari yang pernah diminta membaca Al-Quran saat wukuf di Padang Arafah. Apalagi kecintaan terhadap Al-Quran.

Belakangan ini, perhatian orang, terutama generasi mudanya, lebih tercurah ke kontes-kontes musik yang memang lebih memikat, ujar tokoh berusia 51 tahun ini gundah. Sementara MTQ, dari dulu kemasannya tidak pernah berubah. Ia merindukan, MTQ ke depan akan mempunyai gereget dan gaung yang besar, seperti pada masa-masanya dulu.

Lebih lanjut, Muammar juga mengharapkan optimalisasi peran lembaga resmi yang dibentuk untuk mengembangkan seni baca Al-Quran, Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran. Idealnya, lembaga tersebut tidak hanya sibuk menjelang pelaksanaan STQ atau MTQ, atau menjaring bahan jadi, tetapi secara intensif dan konsisten menggali dan membina bibit unggul sejak dari tingkat dusun. Selama ini, bukankah juara-juara tilawah justru banyak muncul dari pedesaan, yang ekonominya pas-pasan

Wisata Oyot Mimang

Pernakah anda mengalami peristiwa dimana anda berputar putar pada suatu daerah tertentu? kemudian tanpa anda sadari anda terus berputar putar pada daerah tersebut sehingga anda diihat oleh penduduk setempat sebagai orang keder alias tersesat. ya fenomena tersebut dinamakan kita telah terkena oyot mimang, atau akar bimbang.
peristiwa oyot mimang diyakini karena orang yang mengalaminya terkena gangguan dari makhlus halus yang sengaja menyesatkan orang tersebut sehingga dibuat linglung dan keder. setelah lama maka jika anda bertemu dengan penduduk setempat maka biasanya otomatis orang yang terkena oyot mimang lambat laun akan mulai sadar.

nah itu sekilas mengenai apa itu kejadian oyot mimang, apa hubungannya dengan judul diatas? kok pake dijadikan wisata??

ya pertanyaan penasaran tersebut akan kita jawab dengan kita benar benar berwisata menapak tilas kejadian sejarah yang berkaitan erat dengan sejarah legenda terjadinya kabupaten pemalang. coba anda memasuki darah sekitar kendal doyong terus keutara dan sekitarnya, bisanya jika kita pertama kali pergi kedaerah tersebut sendirian maka besar kemungkinan kita akan terkena oyot mimang. hal ini seperti napak tilas kejadian peristiwa sejarah yang erat hubungannya dengan pendiri kota pemalang.


kira kira dahulu Pada penghujung abad ke XVI,kesultanan Banten yang dipimpin oleh Panembahan Yusuf sedang dalam kekacauan akibat ulah Portugis,dan sedang dalam rongrongan adik Panembahan Yusuf sendiri yang diasuh oleh Ratu Kalinyamat dari Jepara yang menuntut pengalihan tahta kesultanan Banten.
Pada waktu itu,Panembahan Yusuf memerintahkan kepada Patih Thalabuddin untuk meminta kembali Keris pusaka Kyai Tapak yang sebelumnya dipinjamkan kepada Pangeran Benowo saat hendak menjadi Adipati di Pemalang,maka berangkatlah patih Thalabuddin menuju ke kadipaten Pemalang.
Sesampainya di Pemalang,tidak begitu saja patih Thalabuddin dapat mengambil keris pusaka tersebut.ia disuruh oleh Pangeran Benowo untuk membuktikan,kalau memang benar dirinya adalah utusan dari kesultanan Banten,maka pastilah ia mampu membawa keris tersebut ke Banten.lalu untuk meyakinkan Pangeran Benowo,patih Thalabuddin menjalani tirakat bertapa di Waringin tunggul,antara desa Benjaran dan Pedurungan barat.
Setelah beberapa hari bertapa,maka Patih Thalabuddin berhasil mendapatkan keris Kyai tapak.namun dalam perjalanan pulang ke Banten,patih Thalabuddin jadi keder (tersesat) tak tahu arah jalan pulang.hal ini karena pengaruh kesaktian Pangeran Benowo terhadap keris pusaka tersebut atau karena patih Thalabuddin kurang sempurna dalam bertapa,ini kurang begitu jelas.yang pasti,sejak mendapatkan keris pusaka tersebut,patih Thalabuddin hanya muter-muter mengelilingi daerah Pemalang saja selama perjalanan pulang.
Hal ini diketahui oleh Pangeran Benowo yang lalu memerintahkan patih Sampun untuk mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa Keris pusaka Kyai tapak telah hilang dicuri orang.lalu datanglah Patih Thalabuddin menghadap Adipati pangeran Benowo sambil menangis ketakutan.sambil gemetar dan meminta ampun,patih Thalabuddin memberikan keris pusaka itu kepada sang Adipati.
Dengan berbesar hati,adipati pangeran Benowo menerima permohonan ampun patih Thalabuddin,yang lalu diangkatnya menjadi Patih kedua di kadipaten Pemalang yang bertugas menyebarkan ajaran agama Islam kepada penduduk/masyarakat Pemalang.karena kecerdasannya pula,Patih kedua Thalabuddin juga diberi wewenang mengatur perekonomian di kadipaten Pemalang mendampingi patih Sampun.dalam beberapa kisah,diriwayatkan bahwa hingga akhir hayatnya,patih Thalabuddin mengabdi dan mencurahkan ilmunya untuk penduduk Pemalang.
Maka dengan demikian,penguasa Pemalang pada masa kepemimpinan Adipati Pangeran Benowo,Patih Sampun (Djiwonegoro) dan Patih kedua Thalabuddin berhasil mencatatkan sejarah keberhasilan dalam menjalankan kepemimpinannya.keberhasilan tersebut diantaranya adalah :
- Dapat menyatukan beberapa wilayah,yaitu Tegal,Pemalang dan Brebes.
- Dapat menciptakan kehidupan yang tenteram serta keamanan yang terjamin.
- Dapat meletakkan dasar dan melanjutkan pembanguna.
- Berhasil menumbuhkan kerukunan antar umat beragama tanpa mengurangi berkembangnya ajaran agama Islam yang pesat.
- Berhasil menumbuhkan ekonomi penduduk Pemalang hingga terjamin kecukupan pangan,sandang dan papan masyarakat.
- Bisa merintis jalan yang menjadi cikal bakal jalan-jalan besar di masa setelahnya.
- Dapat membina pendidikan,seperti berdirinya padepokan (Hindu-Budha) di Pedurungan dan Wanarejan serta Pondok Pesantren di Kebondalem dan Ulujami.
Selain keberhasilan-keberhasilan tadi,trio Benowo,Sampun dan thalabuddin dalam kepemimpinan Pemalang tempoe doeloe adalah mampu mendayagunakan kekayaan alam yang ada sebagai sumber ekonomi rakyat.tak di pungkiri,Pemalang memiliki gunung Slamet beserta hamparan hutan rimbun yang membujur disebelah selatan Pemalang,sebagai cagar alam dan kelestarian mata air,serta sungai-sungai besar maupun kecij yang sanggup menampung curah hujan sehingga menjamin sumber air untuk pemanfaatan sawah,ladang dan perkebunan masyarakat hingga musim kemarau sekalipun.kesuburan tanah Pemalang ini sudah dikenal sejak zaman Majapahit,Pemalang juga mempunyai Pelabuhan untuk singgah kapal-kapal dagang,yang transit dan berdagang di Pemalang.
Trio Pemalang ini juga dikenal pandai membina para Punggawa praja untuk bekerja sama dan manunggal dengan rakyatnya.
Maka demikian,Pemalang pada saat itu sudah mempunyai tata administrasi pemerintahan yang cukup teratur,baik ditinjau dari sarana dan prasarana kehidupan masyarakatnya,serta kecakapan dalam aparatur pemerintahannya.


Sintren Pemalang


Kereta Kencana Kabupaten Pemalang


Pemecahan Rekor MURI Ngebeg Massal Pemalang


tari selendang kuning pemalang


Geyolane Sinok Dewi BJ @ Tebar Pesona Karaoke


Misuh Dalam Budaya Pemalang

Pernah kah kita bertanya kenapa setiap daerah mempunyai kata-kata pisuhan yang berbeda??
ini merupakan pertanyaan yang erat kaitannya dengan kebudayaan masyarakat setempat mengapa ada jargon kata yang lebih spesifikasi dalam daerah tertentu.
misal Janc*k lebih mengarah dan terkhususkan untuk wilayah jawa timur,
kake*ne untuk wiayah muria, dan gat*l untuk wilayah solo, dan masih banyak lagi yang menunjukan kata kotor kekhasan masing masing daerah.
menurut saya kenapa orang pemalang lebih suka pemilihan kata a*u yang ditambahi dan digandeng dengan teles yang jika di lontarkan maka akan menjadi kalimat a*u teles adalah karena orang pemalang ternyata religius dan beragama, maka untuk menunjukan sesuatu yang kotor dipilihlah binatang yang mewakili pisuhannya yaitu binatang yang najis yaitu a*u,. bukankah terlalu cerdas untuk memilih hewan tersebut karena sebagian besarr orang akan menyetujui bahwa a*u itu najis?? najis inilah yang berbasis pada suatu garis religius, tidak salah kalau a*u teles dipilih sebagai wakil kata kotorr, karena najis inilah yang ddipilih untuk melambangkan sesuatu yang ditujukan dalam kalimat pisuhan agar hidup dalam tatanan bahasanya,.
misal...a*u teles koen kieh !!
kenapa religius??
coba kita refleksi kembali dalam suatu legenda tanah jawa yang menceritakan bahwa kematian syeikh siti jenar itu jasadnya berubah menjadi a*u? hal ini juga sebagai perlambang bahwa sesuatu yang dianggap tidak baik maka akan dilambangkan dengan kehadiran wujud simbol a*u?? maka dalam kontek religius selain a*u ada satu lagi temannya yaitu babi.
hewan-hewan tersebut dipilih sebagai wakil untuk menghinakan dan melegitimasikan sesuatu hal yang dipandang kotor.
kenapa saya berpandangan seperti itu karena sebagian besar masyarakat pemalang adalah masyarakat religius. maka tabiat buruk dan sesuatu perlambang keburukannya tidak lepas dari pemilihan simbol seputar religius tersebut.kenapa hal tersebut bisa berkembang?
pisuhan berkembang karena kesepakatan budaya, sudah menjadi turun temurun orrang pemalang misuh asu teles...yag menjadi soal bukan mengapa itu tercipta, akan tetapi bagaimana misuh itu tidak menjadi kebiasaan, karena sesungguhnya misuh bertentangan dengan norma, etika dan moral.
semua kembali kepada individu masing-masing.
matur nuwun.

Pemutaran Film Dokumenter "BABAD TANAH PEMALANG" Di pendopo Pemalang


 Film dokumenter ‘Babad Tanah Pemalang’ (BTP) produksi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar)  Kabupaten Pemalang yang dilaunching Senin malam (2 /8) di pendopo kabupaten menjadi buah bibir masyarakat yang memang haus hiburan sekaligus masih awam terhadap latar belakang sejarah daerahnya.
Film garapan sutradara asal Pemalang, Torro Margens yang naskah cerita dan skenarionya diracik penulis dan sutradara kondang Imam Tantowi, dinilai mampu memberikan gambaran masyarakat Kota Ikhlas akan masa lalu kabupaten tertua di telatah pantura tersebut.Dalam film yang dibintangi sejumlah aktor nasional dan diramaikan sekitar seratus pemain lokal tersebut dikisahkan keberadaan Pangeran Benowo paska kemelut kekuasaan di Kesultanan Pajang.Putera Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir) dari istri selir itu kemudian memutuskan menetap di Kadipaten Pemalang yang sedang ‘komplang’ (tak mempunyai raja) setelah ditinggal sang adipati Anom Windugalbo.Pemalang sendiri merupakan telatah gemah ripah dibawah rehrehan Kesultanan Pajang. Kadipaten Pemalang sebagaimana digambarkan dalam cerita sinea itu merupakan kawasan penting yang sepeninggal sang adipati hanya dipimpin seorang patih muda bernama Jiwonegoro. Patih yang bersahaja namun sakti mandraguna ini dengan rendah hati mengakui dirinya hanyalah seorang patih, sedang Pemalang ditinggalkan rajanya.Terkisah di suatu malam Jiwonegoro yang dalam legenda dikenal dengan julukan Patih Sampun, mendapat wisik dari Gusti Kang Murbeng Dumadi berupa tengara hadirnya sebilah keris pusaka luk tigabelas. Ternyata dikemudian hari wisik itu menjadi kenyataan, Pangeran Benowo yang notabene pewaris pusaka keris luk tigabelas bernama Kyai Tapak, benar-benar datang untuk menjadi raja di Pemalang. Kehadiran Pangeran Benowo bersama guru spiritualnya Ki Julung Wangi dan resi pengasuh Ki Buyut Jamur Apu disambut oleh Syeh Talabudin, ulama asal Cirebon yang mengasuh padepokan santri di Warung Asem dan Padurungan Taman.Syeh Talabudin dan Ki Julung Wangi merupakan sahabat seperguruan ketika menimba ilmu pada seorang wali di Demak Bintoro. Oleh Syeh Talabudin, Pangeran Benowo yang kemudian menjadi muridnya disarankan tetirah untuk menenangkan diri sekaligus memimpin Kadipaten Pemalang yang telah komplang karena dua petingginya, yaitu Adipati Anom Windugalbo dan Patih Gede Murti, telah meninggal.Pangeran Benowo memenuhi harapan ulama tersebut, kemudian ditabalkan menjuadi Adipati Pemalang di pendopo kadipaten. Penobatan tersebut berlangsung malam hari pada 1 Syawal bertepatan pada tanggal 24 Januari 1575 yang dikemudian hari ditetapkan menjadi Hari Jadi Kabupaten Pemalang. (Ruslan Nolowijoyo)www.pesisirnews.com

Babad Tanah Pemalang, Pengukuhan Sejarah Kabupaten Pemalang
LEGENDA sebuah kota atau kabupaten, terkadang membuat masyarakat menjadi kebingungan. Sebab, banyak kontroversi yang menyertainya di tengah masyarakat. Kontroversi itu, bahkan kerap memicu munculnya perdebatan pro kontra.
Meski begitu, bagi Kepala Bidang Seni dan Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemkab Pemalang, Drs Hendro Susetyo MSi, pro kontra justru menjadi motivasi tersendiri. Yakni dengan menggarap film Babad Tanah Pemalang. Usaha dan kerja keras, yang pada awalnya mendapatkan banyak cibiran. Namun, toh pada akhirnya semua itu berlalu, karena film telah rampung digarap.
Darah seniman yang selama ini mendarah daging ditubuhnya, mengejawantahkan hasrat dan cita-cita akan nilai-nilai sejarah Kabupaten Pemalang. Dengan diproduseri sendiri, Film BTP begitu diputar pada malam kemerdekaan RI ke-65 lalu, mendapatkan sambutan yang luar biasa dari masyarakat.
"Pada awalnya, ide membuat film ini mendapatkan banyak kritikan dari sana-sini. Tapi semua itu tidak menyurutkan langkah kami untuk terus berjalan," terang suami dari Aninggar Trisnani ini, kepada Radar kemarin.
Mengenang proses dan perjalanan ide membuat film, pada awalnya Hendro sering mengadakan perkumpulan dengan beberapa seniman di Kabupaten Pemalang dan masyarakat pada umumnya. Dari kumpul-kumpul tersebut, banyak diantara mereka yang mempertanyakan sejarah berdirinya Kabupaten Pemalang yang sesungguhnya. Beberapa dokumen sejarah, kemudian dipelajarinya hingga berkali-kali.
Selanjutnya, ia mewacanakan gagasan untuk membuat sesuatu yang berbeda dalam mengenal sejarah, yakni melalui film. Rekan-rekannya ternyata mendukung, sehingga Hendro bertekad untuk mendokumentasikan perjalanan dan asal-usul berdirinya Kabupaten Pemalang.
Pergulatan kemudian dilanjutkan dengan berburu buku-buku dan dokumen-dokumen yang menceriterakan tentang sejarah Pemalang. Dimana selama lebih setengah tahun, dia berkeliling ke perpustakaan seluruh penjuru nusantara. Dengan harapan, akan menemukan otentifikasi sejarah. Sehingga saat difilmkan, rentetan cerita yang disuguhnkan dapat lebih mengena.
"Dari perpustakaan Solo, perpustakaan Keraton Yogyakarta, Universitas Gajah Mada, Perpustakaan Nasional, hingga ke Kedutaan Besar Belanda di Jakarta," tutur ayah satu anak ini kepada Radar.
Untuk menggali lebih dalam, tambah Hendro, penulis naskah Film BTP, Imam Tantowi, bahkan sampai meminjam buku dari Belanda langsung. Yakni buku sejarah yang menceritakan raja-raja di Jawa secara lengkap.
Setelah mendapatkan bukti-bukti yang kuat, pria yang sudah 10 kali berpindah-pindah jabatan di Pemkab Pemalang ini menganalisis sumber-sumber yang ada untuk dijadikan sebagai rujukan.
Pemkab Pemalang sendiri saat ia mengajukan anggaran, menyetujuinya dengan menggelontorkan dana sebesar Rp 350 juta. Nominal yang menurutnya pas-pasan, karena untuk menyewa berbagai perlengkapan syuting, asesoris, akomodasi, konsumsi pemain selama syuting, serta lainnya, membutuhkan dana tidak sedikit. "Alokasi yang diberikan Pemkab 350 juta. Ini nominal yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan hasil yang dicapai," ujar pria bertubuh pendek itu.
Film yang pada akhirnya disutradarai oleh Torro Margen, aktor kawakan asli Pemalang. Dengan hasil yang tidak mengecewakan, karena layaknya film kolosal, Film BTP menghasilkan visualisasi mentereng seperti halnya film Saur Sepuh, Babad Tanah Leluhur, serta film kolosal lainnya. Selama penggarapannya, BTP melibatkan setidaknya 200 pemain lokal dengan durasi waktu tiga bulan.
Terakhir, kandidat Doktor Sosiologi Jawa dari UGM Yogyakarta ini berharap, Film BTP dapat memberikan pengukuhan akan sejarah Kabupaten Pemalang.