Pernah kah kita bertanya kenapa setiap daerah mempunyai kata-kata pisuhan yang berbeda??
ini merupakan pertanyaan yang erat kaitannya dengan kebudayaan masyarakat setempat mengapa ada jargon kata yang lebih spesifikasi dalam daerah tertentu.
misal Janc*k lebih mengarah dan terkhususkan untuk wilayah jawa timur,
kake*ne untuk wiayah muria, dan gat*l untuk wilayah solo, dan masih banyak lagi yang menunjukan kata kotor kekhasan masing masing daerah.
menurut saya kenapa orang pemalang lebih suka pemilihan kata a*u yang ditambahi dan digandeng dengan teles yang jika di lontarkan maka akan menjadi kalimat a*u teles adalah karena orang pemalang ternyata religius dan beragama, maka untuk menunjukan sesuatu yang kotor dipilihlah binatang yang mewakili pisuhannya yaitu binatang yang najis yaitu a*u,. bukankah terlalu cerdas untuk memilih hewan tersebut karena sebagian besarr orang akan menyetujui bahwa a*u itu najis?? najis inilah yang berbasis pada suatu garis religius, tidak salah kalau a*u teles dipilih sebagai wakil kata kotorr, karena najis inilah yang ddipilih untuk melambangkan sesuatu yang ditujukan dalam kalimat pisuhan agar hidup dalam tatanan bahasanya,.
misal...a*u teles koen kieh !!
kenapa religius??
coba kita refleksi kembali dalam suatu legenda tanah jawa yang menceritakan bahwa kematian syeikh siti jenar itu jasadnya berubah menjadi a*u? hal ini juga sebagai perlambang bahwa sesuatu yang dianggap tidak baik maka akan dilambangkan dengan kehadiran wujud simbol a*u?? maka dalam kontek religius selain a*u ada satu lagi temannya yaitu babi.
hewan-hewan tersebut dipilih sebagai wakil untuk menghinakan dan melegitimasikan sesuatu hal yang dipandang kotor.
kenapa saya berpandangan seperti itu karena sebagian besar masyarakat pemalang adalah masyarakat religius. maka tabiat buruk dan sesuatu perlambang keburukannya tidak lepas dari pemilihan simbol seputar religius tersebut.kenapa hal tersebut bisa berkembang?
pisuhan berkembang karena kesepakatan budaya, sudah menjadi turun temurun orrang pemalang misuh asu teles...yag menjadi soal bukan mengapa itu tercipta, akan tetapi bagaimana misuh itu tidak menjadi kebiasaan, karena sesungguhnya misuh bertentangan dengan norma, etika dan moral.
semua kembali kepada individu masing-masing.
matur nuwun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar