Jumat, 06 November 2015

Mewarisi Semangat Sunan Kalijaga

Syair kitab Al-Barzanji dilantunkan dengan indah di Masjid Kadilangu, Demak, Jawa Tengah, yang dibangun Sunan Kalijaga pada tahun 1534. Sekumpulan anak berpeci bersila melingkari meja kecil tepat di serambi masjid. Mereka menyimak nyanyian yang mengisahkan kehidupan Nabi Muhammad itu.

Di antara kalimat-kalimat dalam bahasa Arab itu, sesekali dilantunkan tembang macapat. Tembang berbahasa Jawa itu menjadi semacam terjemahan atas hikayat Nabi. Dengan menggamit tradisi masyarakat setempat, tradisi Timur Tengah itu terasa membumi.

”Kami berupaya mengajarkan Islam sekaligus melestarikan budaya Jawa seperti dilakukan Sunan Kalijaga,” kata Wiedjayanto saat ditemui di Masjid Kadilangu, Senin (23/8). Lelaki ini adalah keturunan Sunan Kalijaga generasi ke-13.

Nyanyian Barzanji yang diselingi macapat adalah warisan Sunan Kalijaga. Awalnya, metode syiar beliau dikritisi para wali yang lain. Namun, perlahan, cara dakwah ini diakui efektif.

Sunan Kalijaga yang hidup pada pertengahan abad ke-16 Masehi memang berupaya keras menyerap budaya Jawa dalam dakwahnya. Dari sembilan wali, diperkirakan hanya beliau yang kerap tak memakai jubah atau sorban. ”Baju takwa” yang dipakai Sunan ini didesain sendiri dari baju surjan alias baju tradisional Jawa.

Hingga kini, semangat akulturasi Sunan Kalijaga masih terus dikenang dan beberapa tradisi tinggalannya masih terus bertahan. Sebut saja, tabuh beduk dan shalat malam setiap pukul 24.00. Tradisi itu mempertemukan budaya tirakat malam Jawa dan ibadah shalat malam (qiyamul lail) dalam Islam.

Dalam kacamata Achmad Chodjim, penulis buku Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (2004), suluk tembang Jawa hasil adopsi Sunan Kalijaga merupakan pengejawantahan dari dari makrifat. Dalam khazanah sufi, makrifat dimaknai sebagai usaha mengenal dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Persoalannya, diakui Wiedjayanto, suluk tembang Jawa seperti Lir-ilir justru tak lagi berkumandang di Kadilangu. ”Desa ini terletak dekat jalan pantai utara Jawa, yang merupakan medan ’terbuka’ pertemuan aneka budaya sehingga generasi mudanya tak berminat melestarikan suluk,” kata dia.

Sejarawan Islam sekaligus arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta, Masyuhdi, menyayangkan lunturnya tradisi sulukan. Pasalnya, suluk tak sekadar mencerminkan akulturasi, tetapi juga memperkuat iman kepada Allah di tengah berbagai macam tantangan hidup.

Salah satu syair tembang Lir-ilir, misalnya, berbunyi: ”Cah angon-cah angon, penekno belimbing kuwi. Lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodot iro (anak gembala, panjatlah pohon belimbing itu. Meski licin, tetap panjatlah, untuk membasuh pakaianmu)”.

Tembang itu memanfaatkan buah belimbing dengan lima sisi, sebagai simbol lima rukun Islam: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Lebih lanjut, tembang itu mengajarkan betapa sulitnya menunaikan semua rukun Islam.

Peneliti dari Center of Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) asal Pati, Jawa Tengah, Munawir Aziz, mengatakan, syiar Islam Sunan Kalijaga, terutama suluk, tak sepenuhnya luntur. Di sejumlah daerah, suluk tampil dalam wajah baru berupa salawatan dan perpaduan musik Islam-Jawa.

Transformasi itu tampak dari perpaduan alat musik, seperti gamelan dan band, dan syairnya. Suluk model ini dikembangkan kelompok musik Kyai Kanjeng (Emha Ainun Nadjib), Sampak GusUran (Anis Soleh Ba’asin), dan Slamet Gundono.

”Syairnya tidak sekadar bernapas Islam, tetapi berisi kritik sosial, pesan perdamaian, serta kearifan lokal,” kata Aziz. (HENDRIYO WIDI/ HARYO DAMARDONO)

Sumber  : http://nasional.kompas.com/read/2010/09/03/03425819

Tidak ada komentar:

Posting Komentar