Inilah dasar dari penemuan ajaran Bung Karno: Marhaenisme. Ia mengatakan, marhaenisme merupakan lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional bangsa Indonesia. Atau, istilah lainnya, teori yang disusun sesuai konteks historis dan kekhususan masyarakat Indonesia.
" Kembalilah kawan kawan...kembalilah pada jati dirimu !! selama banteng banteng muda indonesia masih mempunyai darah merah, yang mampu dituliskan pada secarik kain putih, maka kita tak akan pernah mundur sedikitpun!! selama kita mampu berdikari maka itulah kita " (Penulis)
Bagi Soekarno ideologi marhaenisme adalah ideologi perjuangan bagi
golongan masyarakat yang dimiskinkan oleh sistem kolonoalisme,
imperialisme, feodalisme dan kapitalisme. Untuk dapat memahami
marhaenisme menurut Soekarno harus menguasai dua pengetahuan.
Pertama : Pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia, dan
Kedua : Pengetahuan tentang Marxisme.
Soekarno berkali-kali menegaskan bahwa siapapun tidak dapat memahami
marhaenisme jikalau tidak memahami marxisme terlebih dahulu.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan dengan alasan yang
kuat pula bahwa marhaenisme adalah marxisme yang disesuaikan dengan
kondisi dalam masyarakat Indonesia sendiri.
Ketika Soekarno mencermati marxisme, Bung Karno menemukan bahwa
marxisme terdiri dari 2 hal yang harus dibedakan ; filsafat
materialisme dan historis materialisme. Bung Karno menilai filsafat
materialisme yang atheis tidak sesuai dengan kehidupan Indonesia
Menurut Soekarno historis-materialis me dapat digunakan sebagai metode
berpikir untuk menganalisa kehidupan sosial di Indonesia.
Historis-materialis me bukanlah merupakan ajaran atau ideologi tetapi
semata-mata merupakan teori sosial yang dapat dipergunakan untuk
menganalisa keadaan sosial.
Dengan menggunakan historis-materialis me sebagai pisau analisa, Bung
Karno menemukan bahwa rakyat Indonesia yang sebagian besar adalah
petani kecil, hidup menderita karena ditindas oleh sistem yang
mengungkungnya, yaitu kolonialisme/ imperialisme bangsa asing yang
merupakan anak kapitalisme, serta feodalisme bangsa Indonesia sendiri.
Akibat dari penindasan dan pemerasan dari sistem tersebut rakyat
Indonesia tidak mampu mewujudkan tuntutan budi nuraninya. Berangkat
dari pemikiran itu untuk melakukan pembelaan terhadap rakyat yang
tertindas maka Bung Karno melahirkan ideologi marhaenisme.
Marhaenisme adalah ideologi ajaran Bung Karno secara keseluruhan,
didalam marhaenisme terkandung alur pemikiran yang konsisten, suatu
ideologi yang membela rakyat dari penindasan dan pemerasan
kapitalisme, kolonialisme/ imperialisme serta feodalisme, dalam rangka
membangun masyarakat adil-makmur dan beradab, bebas dari segala
penindasan dan pemerasan, baik oleh bangsa atas bangsa maupun manusia
atas manusia
Marhaenisme adalah pemikiran yang murni dicetuskan oleh Bung Karno dan
berangkat dari kebutuhan hidup manusia yang paling substansial dan
bersifat universal, yaitu Tuntutan Budi Nurani Manusia (The Social
Consience of Man), yang menghendaki terwujudnya kesejahteraan hidup
manusia yang hanya dapat terpenuhi apabila telah tercipta harmonisasi
antara kemerdekaan individu dan keadilan sosial.
Pada kenyataannya tuntutan tersebut tidak dapat ditemukan pada saat
itu, dan keprihatinan atas permasalahan (nasib bangsa Indonesia)
inilah yang merupakan titik tolak dari pengkajian Bung Karno dalam
melahirkan ideologi marhaenisme. Golongan masyarakat yang miskin dan
melarat inilah yang disebut Soekarno marhaen.
Rumusan marhaenisme ini dijelaskan Bung Karno sebagai berikut :
1. Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat dan negara yang didalam segala halnya menyelamatkan kaum marhaen.
2. Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya.
3. Marhaenisme sekaligus sebagai asas dan cara perjuangan yang revolusioner menuju kepada hilangnya kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme.
Bung Karno juga menyebut marhaenisme merupakan sosio nasionalisme dan
sosio demokrasi. Hal ini menurut Soekarno dikarenakan nasionalisme
kaum marhaen adalah nasionalisme yang berkeadilan sosial dan
dikarenakan demokrasinya kaum marhaen adalah demokrasi yang
berkeadilan sosial.
Pengertian marhaen yang merupakan asal-usul dicetuskannya ideologi
marhaenisme menurut Soekarno adalah golongan masyarakat miskin yang
terdiri dari tiga unsur :
1. Unsur kaum proletar Indonesia atau disebut kaum buruh.
2. Unsur kaum tani melarat Indonesia.
3. Unsur kaum masyarakat melarat Indonesia lainnya.
Soekarno juga menjelaskan golongan mana yang disebut dengan kaum
marhaenis, yakni kaum yang mengorganisir berjuta-juta kaum marhaen dan
yang bersama-sama dengan tenaga massa marhaen yang hendak menumbangkan
sistem kapitalisme, imperialisme serta kolonialisme, dan kaum yang
bersama-sama dengan marhaen membanting tulang untuk membangun negara
dan masyarakat yang kuat, bahagia-sentosa, serta adil dan makmur.
Pernyataan ini semakin ditegaskan oleh Soekarno dalam pernyataannya :
" Pokoknya, Marhaenis adalah setiap orang yang menjalankan marhaenisme seperti yang saya jelaskan. Camkan bebar-benar ! setiap kaum Marhaenis berjuang untuk kepentingan kaum marhaen dan bersama-sama dengan kaum marhaen ! "
Pandangan Soekarno yang memperlihatkan kebenciannya terhadap sistem
kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme yang dianggapnya sebagai
sumber mala petaka penyebab kemiskinan masyarakat indonesia dapat
dilihat dari petikan pidatonya yang mensyaratkan perlunya kerjasama
dengan kaum tertindas dalam merubah sistem yang eksploitatif :
" ……. Kita semua harus berjuang di tengah-tengah rakyat marhaen, membulatkan seluruh kekuatan marhaen, dan bersama-sama dengan kaum marhaen itu terus berjuang melawan kapitalisme, imperialisme, kolonialisme dan neo-kolonialisme dimanapun ia masih bercokol dan berada.
Seorang penulis Amerika Louis Fischer pernah mengumpamakan marhaenisme
sebagai Smith-isme untuk masyarakat Amerika, karena di Amerika Smith
adalah nama yang paling banyak dipakai oleh orang-orang kecil, dan
andaikata Bung karno tidak berjalan-jalan ke Bandung Selatan tetapi di
desa-desa sekitar Malang, dan ia berjumpa dengan pak Kromo atau pak
Bakat maka ia tentu akan menamakan : kromo-isme atau bakat-isme.
Ketika Bung Karno akan memberi nama terhadap masyarakat Indonesia yang
tertindas oleh sistem yang eksploitatif, serta nama ideologi yang
telah dipikirkannya Bung Karno bertemu dengan seorang petani kecil di
desa Cigalereng, Bandung Selatan bernama Marhaen.
Bagi Bung Karno, Pak Marhaen adalah simbolisasi dari lapisan
masyarakat yang merupakan bagian terbesar dari rakyat Indonesia pada
saat itu. Dia adalah seorang petani kecil yang memiliki alat produksi,
bekerja dengan seluruh waktunya, tetapi tetap menderita karena hidup
dalam sistem yang menindasnya.
Marhaenisme yang ditafsirkan Soekarno sendiri dapat juga dilihat dari
keputusan Konfrensi Partindo pada tahun 1933 tentang marhaen dan
marhaenisme yang populer:
1. Marhaenisme, yaitu sosio nasionalisme dan sosio demokrasi.
2. Marhaen, yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain.
3. Partindo memakai perkataan marhaen, dan tidak proletar oleh karena perkataan proletar sudah termaktub didalam perkataan marhaen, dan oleh karena perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub didalamnya.
4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa didalam perjuangan, kaum melarat menjadi elemen-elemennya (bagian-bagiannya) , maka Partindo memakai perkataan marhaen.
5. Didalam perjuangan marhaen itu maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali.
6. Marhaenisme adalah asas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang didalam segala halnya menyelamatkan marhaen.
7. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner.
8. Jadi marhaenisme adalah ; cara perjuangan dan asas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.
9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan marhaenisme.
Marhaenisme ajaran Bung Karno sebagai ideologi perjuangan bagi kaum
marhaen memiliki asas perjuangan sesuai dengan watak dan karakter
ideologi marhaenisme. Perjuangan kaum marhaenis dalam mewujudkan
masyarakat adil dan makmur serta beradab memerlukan suatu strategi dan
cara yang disebut asas perjuangan.
Sosio nasionalisme bertujuan memperbaiki keadaan di dalam masyarakat
sehingga tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang celaka,
dan tidak ada kaum yang papa sengsara. Sosio nasionalisme bertujuan
untuk mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan
negeri dan keberesan rezeki.
Sosio demokrasi lahir daripada sosio nasionalisme bertujuan mencari
keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri dan rezeki, dan tidak
hanya mengabdi kepada kepentingan sesuatu yang kecil melainkan kepada
kepentingan masyarakat.
Sosio nasionalisme adalah nasionalisme yang berperikemanusiaan,
nasionalisme yang lapang dada, nasionalisme yang internasionalisme,
nasionalisme yang bergetar hatinya untuk membela apabila melihat masih
ada bangsa yang terjajah. Sosio nasionalisme bukanlah nasionalisme
yang berpandangan sempit dan menumbuhkan chauvinisme jingoisme,
intoleran atau disebut xeno phobia. Sosio nasionalisme juga bukan
nasionalisme yang hanya berorientasi pada internasionalisme minded
saja, tanpa memperhatikan harga diri atau identitas nasional atau
disebut xeno mania.
Bagi marhaenisme, internasionalisme harus dibarengi oleh nasionalisme
atau patriotisme dan disebut sosio nasionalisme. Sosio demokrasi
meliputi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Demokrasi politik
hanya akan melahirkan political power centris yang menyuburkan lairan
yang berpedoman pada adagium " The survival of the fittest ", dalil
sosial Darwinisme.
Demokrasi politik yang seperti ini berwatak liberalisme dan menjurus
kepada free fight competition dan bertentangan dengan marhaenisme yang
sosialistis. Dengan demikian demokrasi politik dan demokrasi ekonomi
sejajar dengan marhaenisme. Apabila marhaenisme dikembangkan maka akan
melahirkan :
1. Sosio nasionalisme menjadi nasionalisme, perikemanusiaan. 2. Sosio demokrasi menjadi demokrasi, kedaulatan politik dan keadilan sosial.
Bung Karno dalam menjelaskan marhaenisme tidak pernah keluar dari
benang merah yang telah digariskan sejak tahun 1927 tentang
marhaenisme, diantaranya :
1. Marhaen adalah kaum melarat Indonesia yang terdiri dari buruh,
tani, pengusaha kecil, pegawai kecil, tukang, kusir, dan kaum kecil
lainnya. Soekarno sering menyebutkan marhaen adalah rakyat Indonesia
yang dimiskinkan oleh imperialisme.
2. Marhaen Indonesia ada yang berdomisili di pantai, di gunung,
di dataran rendah, di kota, di desa dan dimana saja. Marhaen itu ada
yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan ada juga yang menganut
animisme. Marhaen Indonesia ada yang kyai, pastor, pendeta, biksu, mpu
atau dukun di kalangan PSII, Budi Utomo, TNI, KORPRI dan dimana saja.
3. Kaum marhaen sesuai dengan kodratnya berupaya melepaskan
belenggu kemiskinan dan mengharapkan terjadinya perbaikan nasib.
4. Marhaenisme adalah ideologi yang bertujuan menghilangkan
penindasan, penghisapan, pemerasan, penganiayaan dan berupaya mencapai
serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, melalui kemerdekaan
nasional, melalui demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
5. Terhapusnya kemiskinan dan terwujudnya masyarakat adil dan
makmur hanya bisa dicapai dengan kemerdekaan nasional, dimana
kemerdekaan itu hanyalah jembatan emas. Di seberang jembatan emas itu
terbuka dua jalan. Satu jalan menuju masyarakat yang adil dan makmur,
dan jalan satu lagi menuju masyarakat celaka dan binasa.
Marhaenisme adalah sublimasi daripada Manifesto Komunis dan
Declaration Of Independence. Dari Manifesto Komunis diambil yang baik
dan yang bermanfaat bagi perkembangan umat manusia, begitu pula dengan
Declaration Of Independence. Oleh karena itu konsepsi marhaenisme
memadukan kebebasan manusia dan solidaritas sosial yang berdasarkan
pada nilai-nilai manusia dan kemanusiaan. Konsepsi marhaenisme adalah
ideologi yang akan menggantikan ideologi komunisme dan kapitalisme.
Marhaenisme ajaran Soekarno bukanlah ` jalan ketiga ` seperti yang
dicetuskan oleh Anthony Giddens, yang bertujuan untuk mendamaikan
perbedaan antara 2 ideologi di Eropah antara kubu demokrasi sosial
yang dinilai terlalu memberi kebebasan kepada negara untuk mengatur
jalannya perekonomian masyarakat.dan kubu liberalisme yang dinilai
terlalu liberal dengan politik ekonomi pasar bebas.Ideologi ` jalan ketiga ` Giddens sangat berbeda dengan marhaenisme
dikarenakan ` jalan ketiga ` bukan lahir daripada antitesa terhadap
kapitalisme melainkan upaya untuk mendamaikan sistem ekonomi pasar
bebas dengan ekonomi demokrasi sosial. Marhaenisme lahir sebagai
sebuah antitesa atas penghisapan oleh kapitalisme dan imperialisme
negara-negara maju terhadap negara-negara dunia ketiga.
Jalan ketiga dinilai banyak pihak berhubungan erat dengan
kebijakan-kebijakan neoliberal, dianggap dekat dengan
pergerakan-pergerak an sayap kanan dan dianggap sebagai upaya untuk
memodernisir wacana sosialisme-demokras i di era globalisasi.
Marhaenisme menekankan pentingnya pendidikan terhadap massa marhaen
sementara ` jalan ketiga ` Giddens lebih mempersiapkan kelas pekerja
untuk menghadapi pasar bebas. Ideologi aIternatif atau jalan ketiga
(The Third Way ) merupakan kejenuhan historis terhadap segala bentuk
ideologi yang menjenterah diantara keriuhan peradaban dunia seperti
sosialisme dan kapitalisme. Jalan keriga juga lahir karena peleburan
cakrawala antara berbagai aliran ideologis untuk melahirkan suatu
peradaban baru yang bernaung dibawah ideologi kemanusiaan.
Inti dari marhaenisme adalah untuk mengganti kapitalisme dengan segala
metamorfosanya dan marhaenisme adalah ideologi kiri yang merupakan
antitesa kapitalisme dan bukan ideologi kanan apalagi ` jalan ketiga
`. Marhaenisme adalah ideologi yang berpijak pada nilai-nilainya
sendiri bukan merupakan hasil revisi ataupun hasil damai antara kiri
dan kanan.
Visi Marhaenisme adalah terwujudnya masyarakat marhaenistis, yaiu
masyarakat adil, makmur dan beradab berdasarkan kesederajadan dan
kebersamaan yang dilandasi semangat persatuan dan kesatuan, bebas dari
segala bentuk penindasan dan keterkungkungan (hegemoni), suatu
masyarakat adil dan makmur material dan spiritual.
1.1 Azas
Azas adalah dasar atau " pegangan " kita yang " walau sampai lebur
kiamat " , terus menentukan " sikap " kita, terus menentukan "
duduknya nyawa kita ". Azas adalah prinsip-prinsip yang harus
dilaksanakan untuk dapat mewujudkan visi yang telah dicanangkan. Azas
Marhanisme yang merupakan hasil analisa Bung Karno dengan menggunakan
historis-materialis me adalah : Sosio-nasionalisme dan
Sosio-demokrasi.
Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang menghendaki kesejahteraan,
nasionalisme yang berperikemanusiaan, nasionalisme yang hidup dalam
taman sarinya internasionalisme, bukan nasionalisme yang chauvinistis.
Nasionalisme yang saling menghargai antara bangsa-bangsa dalam
kesederajadan dan perdamaian abadi, sehingga tidak menghendaki
terjadinya penjajahan suatu bangsa oleh bangsa lain.
" Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang mencari selamatnya
perikemanusiaan. ... Sosio nasionalisme adalah nasionalisme Marhaen,
dan menolak tiap tindak kaum borjuisme yang menjadi sebabnya
kepincangan masyarakat itu. Jadi sosio-nasionalisme adalah
nasionalisme politik dan ekonomi,- suatu nasionalisme yang mencari
keberesan politik dan keberesan rezeki. "
Sosio-demokrasi adalah demokrasi yang berkeadilan sosial, bukan
demokrasi yang sekedar mengedepankan perbedaan dan kemerdekaan
individu yang mengabaikan kebersamaan serta tegaknya keberdayaan dan
kedaulatan rakyat. Esensi dari Sosio-demokrasi adalah tegaknya
kesedrajadan dan kebersamaan yang merupakan landasan bagi terwujudnya
keberdayaan dan kedaulatan rakyat. Tujuan demokrasi adalah untuk
menciptakan kesejahteraan bersama tanpa ada penindasan manusia oleh
manusia.
" Sosio-demokrasi adalah pula demokrasi yang berdiri dengan dua-dua
kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi tidak ingin mengabdi
kepentingan sesuatu gundukan kecil sahaja, tetapi kepentingan
masyarakat,- demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan
ekonomi, keberesan negeri dan rezeki. Sosio-demokrasi adalah demkrasi
politik dan emokrasi ekonomi. "
Marhaenisme merupakan sintesa yang lahir dari antitesa terhadap sistem
yang menindas dan menyengsarakan rakyat, maka Marhaenisme memiliki
sifat anti penindasan, anti terhadap kapitalisme,
kolonialisme/ imperialisme dan feodalisme maupun setiap bentuk
penindasan lainnya. Hasil penganalisaan kultural Bung Karno terhadap
bangsa Indonesia membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa serta sanggup hidup berdampingan secara
damai dalam pluralisme beragama. Apabila dicermati secara seksma maka
kan dapat kita ketahui bahwa azas Marhaenisme tercermin dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
1.2 Azas Perjuangan Marhaenisme
Azas perjuangan adalah menentukan hukum-hukum daripada perjuangan
itu,- menetukan strategi daripada perjuangan itu. Azas perjuangan
menentukan karakter perjuangan itu, sifat-wataknya perjuangan itu,
garis-garis besar daripada perjuangan itu,- bagaimana perjuangan itu.
"Adapun asas perjuangan daripada ideologi marhaenisme adalah :
· Radikal-revolusioner
· Non-kooperasi
· Machtsvorming dan machtsaanwending
· Massa aksi
· Self help
· Self reliance
Radikal-revolusione r adalah cara perjuangan untuk melakukan perubahan
secara mendasar dan cepat. Radikal revolusioner tidak ada hubungannya
dengan kekerasan, amuk-amukan, apalagi bunuh-bunuhan, tetapi cara
perjuangan yang tidak hanya tambal sulam.
Hal mendasar dari radikal-revolusione r adalah non-kooperasi.
Non-kooperasi adalah perjuangan dengan tidak melalui jalan kompromi,
bukan perjuangan meminta-minta, dan non-kooperasi ditujukan terhadap
sistem yang melakukan pemerasan dan penindasan, terhadap sistem yang
menistakan kemerdekaan individu dan keadilan sosial. Terhadap sistem
yang mendatangkan kesengsaraan dan penderitaan itulah non-kooperasi
diarahkan.
Machtsvorming adalah perhimpunan kekuatan yang dilandasi satu kesatuan
semangat dan cita-cita, satu penyusunan kekuatan berdasarkan mental
ideologi, dan merupakan sumber dalam menggunakan kekuatan
(machtsaanwending) dan bukan hanya himpunan orang dalam jumlah yang
banyak, bukan juga himpunan yang sifatnya lahiriah.
Massa aksi adalah suatu massa aksi yang didasari pada kesadaran
bersama atas tujuan perjuangan, massa aksi bukanlan gerakan yang harus
dengan jumlah besar, tetapi setiap tindakan yang dapat melahirkan
kesadaran rakyat untuk menimbukan gerakan yang radikal-revolusione r.
Massa aksi berbeda dengan massale aksi.
Self help adalah suatu gerakan yang tidak bergantung kepada kekuatan
sesuatu pihak melainkan harus berdasarkan kekuatan sendiri. Dengan
menggantungkan diri pada pihak lain maka dapat membuka peluang
terhadap pihak lawan untuk mengkooptasi (membelokan gerakan dengan
niat buruk) gerakan. Dengan dasar self help, suatu gerakan akan
memiliki self reliance (kepercayaan diri).
Asas perjuangan dari marhaenisme tersebut mengandung 3 misi utama bagi
kaum marhaenis Indonesia, yakni :
1. Membangun kesadaran rakyat atas penderitaan serta sebab-sebab yang mengakibatkan penderitaannya.
2. Membangun kekuatan kaum marhaen dan marhaenis agar dapat menjadi subjek sosial-politik yang menentukan tata kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. Menggalang kekuatan progressif-revolusi oner, yaitu semua kekuatan yang mendukung tercapainya revolusi Indonesia sesuai dengan tahapan-tahapannya.
Kekuatan progressif-revolusi oner adalah kekuatan yang berpikiran maju
ke arah tujuan revolusi Indonesia, yaitu terwujudnya masyarakat adil
dan beradab, masyarakat tanpa penindasan dan pemerasan oleh manusia
atas manusia maupun bangsa atas bangsa. Tujuan revolusi ini hanya kan
dapat dicapai melalui tiga tahapan revolusi, yang oleh Bung Karno
disebut " Tiga Kerangka Revolusi ", yaitu :
1. Kemerdekaan penuh/Nasional- demokratis.
2. Sosialisme Indonesia.
3. Dunia baru yang adil dan beradab.
Untuk mencapai kemerdekaan yang hakiki tersebut, maka Indonesia harus
menyelenggarakan pembangunan :
1. State Building (mempertanyakan Negara Kesatuan Republik Indonesia )
2. Nation and character Building (pembangunan karakter bangsa)
2. Nation and character Building (pembangunan karakter bangsa)
3. Social and economic developing building (pembangunan social ekonomi)
Asal usul Sejarah :
Soekarno menemukan seorang petani berbaju lusuh yang sedang bekerja di sawah tahun 1920an di Bandung. Petani tersebut bernama Marhaen, Soekarno berpendapat Marhaen adalah figur yang mewakili rakyat Indonesia yang bekerja keras tapi terus menerus miskin akibat feodalisme dan imperialisme. petani itu mengerjakan sawah sendiri (warisan orang tua), menggunakan perkakas kerja sendiri, hasilnya hanya untuk menghidupi diri sendiri atau keluarga sendiri (tidak ada kelebihan untuk dijual), tidak mempekerjakan tenaga orang lain, dan punya rumah berbentuk gubuk yang dipunyai sendiri.
Nama Marhaen Sama seperti nama Jones atau Smith di Eropa, kata Bung Karno. Di situlah Bung Karno menemukan ilham (petunjuk): menggunakan nama Marhaen untuk menamai semua orang Indonesia yang senasib dengan petani bernama Marhaen itu.
Tetapi istilah itu tidak sempit merujuk ke petani saja. Masih di buku yang sama, Bung Karno juga menyebut “tukang gerobak” sebagai marhaen. Sebab, si tukang gerobak punya alat produksi, tetapi tidak menyewa pembantu (tenaga kerja) dan tidak punya majikan.
Inilah dasar dari penemuan ajaran Bung Karno: Marhaenisme. Ia mengatakan, marhaenisme merupakan lambang dari penemuan kembali kepribadian nasional bangsa Indonesia. Atau, istilah lainnya, teori yang disusun sesuai konteks historis dan kekhususan masyarakat Indonesia.
info sejarahnya sebagai berikut :
Defenisi Marhaen
Istilah Marhaen tidaklah jatuh dari langit sebagai sebuah ilham. Ia merupakan hasil pergumulan teoritis dan observasi. Dan, saya kira, teori ini terus mengalami pengembangan dan penyimpulan-penyimpulan.
Sekarang, kita ke pertanyaan: apa itu “Marhaen”?
Di atas kita sudah menemukan kategori-kategori marhaen: pertama, ia merupakan pemilik produksi kecil. Kedua, ia tidak menyewa atau mempekerjajakan orang lain. Alat produksi itu dikerjakan dengan tenaga sendiri (plus keluarga). Ketiga, ia tidak punya majikan. Keempat, hasil produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan keluarganya. Kadang hasil produksinya pas-pasan.
Singkat kata, Bung Karno mendefenisikan Marhaen sebagai berikut: seorang marhaen adalah seorang yang mempunyai alat produksi kecil; seorang kecil dengan alat produksi kecil, dengan alat-alat kecil, sekedar cukup untuk dirinya sendiri.
Dalam terminologi marxis, ini mungkin sepadan dengan istilah “borjuis kecil”. Namun, Soekarno memberi penekanan pada istilah marhaen ini dengan perkataan “kaum melarat Indonesia”. Artinya, meskipun ia pemilik produksi kecil—mungkin mirip dengan borjuis kecil—tetapi ia hidup sangat melarat.
Dengan demikian, istilah marhaen mencakup petani kecil, pedagang kecil, pemilik usaha kecil, dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, Soekarno mulai memasukkan proletar sebagai bagian dari Marhaen Indonesia. Pada tahun 1960-an, Soekarno menyebut kaum Marhaen itu terdiri dari tiga unsur: unsur kaum miskin proletar Indonesia (buruh), unsur kaum tani melarat Indonesia, dan unsur kaum melarat Indonesia lainnya.
Saya kira, pengembangan ini tak lebih dari sebuah kebutuhan politik saat itu, yakni menyatukan seluruh kaum tertindas Indonesia ke dalam sebuah persatuan revolusioner atau sering disebut “sammenbundeling van alle revolutionaire krachten”.
Dasar Teoritis
Menurut bung Karno, istilah proletar—yang populer di Eropa—tidak tepat untuk menjelaskan kategori-kategori yang disebut marhaen itu. sebab, bagi Soekarno, istilah proletar sudah jelas: orang yang tidak punya hasil produksi dan, karena itu, menjual tenaga kerjanya pada orang lain/majikan. Dan ia menerima upah dari menjual tenaga kerjanya itu. Berbeda kan?
Nah, di era Bung Karno itu, proletar memang sudah ada. Soekarno juga mengakui hal itu. Hanya saja, bagi Soekarno, bagian terbesar dari kaum tertindas Indonesia bukan proletar, melainkan yang masuk kategori Marhaen itu.
Kenapa bisa demikian?
Ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme di Indonesia. Kata Soekarno, kapitalisme di Indonesia itu, yang dibawa oleh kolonialisme Belanda, punya kekhususan. Apa kekhususannya?
Ketika Belanda hendak menancapkan kuku-kuku kolonialismenya di Indonesia, negeri kincir angin itu masihlah terbelakang. Tan Malaka menyebutnya “negeri tani dan tukang warung kopi yang kecil-kecil.” Jadi, belanda sendiri belum merupakan negara industrialis saat itu. Sangat berbeda dengan Inggris, misalnya, yang sudah berkembang pesat sejak mengalami revolusi industri.
Kolonialisme ala Belanda ini membawa dampak. Belanda datang ke Indonesia berlagak bak saudagar. Apa yang terjadi? untuk memaksakan monopolinya di Indonesia, VOC melakukan pemaksaan dan perampasan. Mirip dengan akumulasi primitif dalam masyarakat pra–kapitalis. Merampas barang dagangan—khususnya rempah-rempah–dan kemudian di jual di pasar internasional.
Di jaman cultural stelsel tetap saja begitu. Hanya saja, di sini kapitalis Belanda sudah mulai menanamkan modalnya di Indonesia. Itulah mengapa Bung Karno menyebut imperialisme Belanda itu sebagai “finance-capital”.
Namun, sebagian besar kapital itu jatuhnya di sektor pertanian/perkebunan. Sebagian besar kapital Belanda itu—hampir 75%, kata Soekarno—hanya menghasilkan onderneming-onderneming: onderneming teh, onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina, dan lain sebagainya. Di Hindia-Belanda (Indonesia), kata Soekarno, yang dominan adalah kapitalisme pertanian.
Perkembangan kapitalisme yang demikian, kata Bung Karno, tidak menghasilkan proletar murni. Yang terjadi, kapitalisme pertanian ini menghasilkan susunan sosial masyarakat paling banyak merupakan kaum tani yang melarat.
Sudah begitu, kolonialisme Belanda tidak menghasilkan konsentrasi dan pemusatan industri modern di kota-kota. Akibatnya, kota di Indonesia tidak tumbuh sebagaimana layaknya kota-kota di Eropa. Hingga awal abad ke-20, mayoritas rakyat Indonesia, yakni 70-80%, masih tinggal di daerah pedesaan.
Ini berbeda dengan di eropa. Eropa benar-benar terindustrialisasi. Terjadi konsentrasi dan pemusatan produksi di kota-kota. Ini menghasilkan kaum proletar 100% (murni). Bahkan, klas proletar tumbuh menjadi bagian terbesar di dalam masyarakat.
Sudah begitu, kata Bung Karno, hasil produksi onderneming itu dijual di eropa. Akibatnya: ini uang bekerja di Indonesia, menggaruk kekayaan alam Indonesia, dibawa ke negeri Belanda untuk dijual di eropa, mendapat untung di eropa, untung itu dibawa lagi ke Indonesia, ditanam lagi Indonesia, menggaruk kekayaan alam Indonesia..dan seterusnya.
Karena kapital Belanda itu orientasinya ekspor alias bergantung pada pasar eropa, maka politik kolonial Belanda di Indonesia tak berkepentingan untuk meningkatkan daya beli rakyat Indonesia. Karena itu, tidak pula berkepentingan meningkatkan pengetahuan rakyat Indonesia.
Ini berbeda sekali dengan kolonialisme Inggris di India, misalnya. Kapitalisme inggris, kata Bung Karno, lebih banyak ke perdagangan dan pengambilan bahan baku. Imperialisme dagang ini memerlukan pasar. Maka, imperialisme Inggris di India berkepentingan untuk tidak membunuh daya beli rakyat India. Imperialisme Inggris juga membiarkan berdirinya sekolah-sekolah dan Universitas. Lahirlah nama besar: Tilak, Mahatma Gandhi, Das, Tagore, Dr. C. Bose dan Dr. Naye.
Kepeloporan Klas Proletar
Bagi saya, pengidentifikasian marhaen dalam susunan masyarakat Indonesia tak lebih dari upaya Bung Karno untuk menarik mayoritas rakyat Indonesia untuk terjun dalam perjuangan anti-kolonial dan menuju sosialisme.
Proyek ini, bagi saya, sama saja ketika Mao Tse Tung di Tiongkok melihat arti penting atau signifikansi kaum tani. Atau, sekarang ini, kaum kiri Amerika Latin melihat signifikansi dari apa yang disebut “masyarakat asli/pribumi” (indigenous peoples).
Di sini, Bung Karno menjawab problem kekhususan masyarakat Indonesia. Ia menggunakan analisa klas—tentu saja dari analisa Marxisme—dengan menerapkannya dalam konteks Indonesia. jadi, Soekarno tidak dogmatis.
Meski begitu, dalam proyek sosialismenya, Soekarno tetap mempercayakan klas proletar sebagai klas pelopor. Ini sangat gamblang pada penjelasannya sebagai berikut:
kaum Proletar sebagai klas adalah hasil langsung daripada kapitalisme dan imperialisme. Mereka adalah kenal akan pabrik, kenal akan mesin, kenal akan listrik, kenal akan cara produksi kapitalisme, kenal akan kemodernannya abad keduapuluh. Mereka ada pula lebih langsung menggenggam mati hidupnya kapitalisme di dalam mereka punya tangan, lebih direct (langsung, ed.) mempunyai gevechtswaarde anti kapitalisme. Oleh karena itu, adalah rasionil jika mereka yang di dalam perjuangan anti kapitalisme dan imperialisme itu berjalan di muka, jika mereka yang menjadi pandu, jika mereka yang menjadi “voorlooper”, -jika mereka yang menjadi “pelopor”.
Bung Karno sendiri mengakui keterbelakangan kaum tani. Kita juga bisa melihat penjelasan Bung Karno soal kaum tani sebagai berikut:
mereka punya pergaulan hidup adalah pergaulan hidup “kuno”. Mereka punya cara produksi adalah cara produksi dari jaman Medang Kamulan dan Majapahit, mereka punya beluku adalah belukunya Kawulo seribu lima ratus tahun yang lalu, mereka punya garu adalah sama tuanya dengan nama garu sendiri, mereka punya cara menanam padi, cara hidup, pertukar-tukaran hasil, pembahagian tanah, pendek seluruh kehidupan sosial ekonominya adalah masih berwarna kuno, -mereka punya ideologi pasti berwarna kuno pula!
Tetapi, sekalipun begitu, Soekarno tidak mengabaikan peranan petani. Ia justru melihat signifikansi kaum tani melarat ini, bersama dengan pemilik produksi kecil melarat lainnya, sebagai kekuatan besar dalam revolusi. Sekalipun pimpinan revolusi diletakkan di pundak kaum proletar.
Karena itu, Bung Karno menyadari, perjuangan kaum marhaen di Indonesia tidak akan berjalan sukses kalau tidak menghimpun kaum buruh. Soekarno mengatakan, “pergerakan kaum Marhaen tidak akan menang, jika tidak sebagai bagian daripada pergerakan Marhaen itu diadakan barisan “buruh dan sekerja” yang kokoh dan berani.”
Bagaimana dengan sekarang?
Perkembangan kapitalisme di Indonesia, seperti juga di negara-negara dunia ketiga lainnya, tidak mengarah pada “negara industri modern”. Yang terjadi, neoliberalisme justru menciptakan fenomena “deindustrialisasi”.
Di akhir kekuasaan orde baru, struktur industri kita menghasilkan kenyataan berikut: pabrik-pabrik yang mempekerjakan 500 orang atau lebih hanya menyerap sepertiga dari total tenaga kerja. Sedangkan dua pertiganya bekerja di industri-industri skala menengah (20-99 pekerja), skala kecil (5-19 pekerja), dan rumah tangga (1-4 pekerja).
Juga, kalau kita melihat data BPS, jumlah keseluruhan unit usaha di Indonesia mencapai 51,262 juta. Dari total unit usaha tersebut, terdapat 50,697 atau 98,9% adalah usaha mikro, 520.221 usaha kecil (1,01%), 39.657 usaha menengah (0,08%) dan hanya 4.463 usaha berskala besar (0,01%). Artinya, 99,99% usaha di Indonesia itu masuk dalam kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Tidak bisa dipungkiri, perkembangan kapitalisme di Indonesia meningkatkan apa yang disebut sektor informal. Statistik resmi menyebut angka pekerja sektor informal di Indonesia mencapai 70%.
Kategori sektor informal adalah pedagang kaki lima, perdagangan kecil, perajin kecil, dan pertanian dalam skala kecil. Ini meliputi keseluruhan sektor perdagangan mikro (asongan, PKL, calo, dll), Industri pengolahan mikro (industri rumah tangga, kerajinan, dan lain-lain), dan pertanian mikro (petani menengah, miskin, dan gurem).
Artinya, mayoritas rakyat Indonesia sekarang ini sebetulnya adalah pemilik produksi kecil. Dan, sebagian besar mereka itu, menurut saya, adalah orang-orang yang membuka usaha sekedar untuksurvive atau bertahan hidup dari gempuran neoliberal.
Dengan demikian, istilah marhaen Bung Karno masih relevan untuk sekarang. Ia masih ampuh sebagai alat analis klas terhadap susunan sosial masyarakat di Indonesia. Ia juga masih efektif sebagai teori politik dalam kerangka menarik partisipasi mayoritas rakyat Indonesia ini, yakni kaum melarat, dalam tugas-tugas revolusi di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar