Tajamnya pisau itu hanya merobek kulit, tapi tajamnya lisan membekaskan luka tak terobati. Begitu
besar pengaruh dari ucapan keseharian kita. Tanpa disadari lantaran
kata-kata kita membuat banyak lubang dihati orang lain. Dan salah satu
yang sering kita jumpai dan eksis dalam peredaranya adalah ghibah.
Ghibah dalam berbagai referensi kitab ataupun buku-buku yang berada
di pasaran mengandung makna yang sama, hanya berbeda ungkapannya saja.
Kalau saya ringkas,definisi ghibah adalah membicarakan orang lain dengan sesuatu yang dibenci oleh orang itu apabila mendengarnya. Disamping
itu ghibah juga termasuk kategori dhalim walaupun benar adanya.
Sementara orang yang dhalim, sepengetahuan saya termasuk golongan orang
yang tidak diterima amalnya. Lalu bagaimana dengan kita, masihkah kita
melakukanya ? Dari devinisi diatas semua dikembalikan pada pribadi
masing-masing. Saya rasa andapun tahu jawabanya.
Hal-hal yang dikatakan ghibah itu mencakup semua aspek. Dalam hal ini memuat ucapan, prilaku, penampilan dan lain-lain.Contohnya
seperti ini. “Si A itu pemarah dan pelit”, Kata B ditimpali temannya
yang pernah dimarahi tanpa alasan. Nah, anda bisa bayangkan bagaimana
sikap A seandainya mendengar percakapan ini. Pastinya tidak mengenakan.
Tidak perlu jauh-jauh, ber-andai-andai, apa sikap kita kalau ada orang
membicarakan kejelekan kita? Saya kira anda tak mungkin acuh tak acuh
atau bahkan apatis.
Dalam sebuah hadis dijelaskan, ghibah lebih berat dosanya daripada 30 kali melakukan zina. Mengerikan!
Kita bayangkan, orang berzina satu kali saja hadnya diranjam hingga
mati. Dianggap murtad dan tidak disholati. Lalu bagaimana dengan ghibah?
Herannya lagi, sebagian pelaku ghibah adalah para santri yang
notabenenya sangat kental dengan syariat agama. Tentunya mereka pernah
mendengar bahaya ghibah dan yang lainnya. Namun mengapa bisa seperti
itu? Dimana-mana, kapanpun, rasanya ghibah akan menjadi menu utama.
Kalau saja manusia menutupi kejelekan orang lain, didunia Allah akan
menutupi kejelekannya diakhirat . Subhanallah! Apa kita kurang yakin
dengan janji Allah itu? AlQuran telah menurunkan dengan jelas sekali
mengenai hal ini, kalau bukan berpegang pada alQuran, lalu apa pedoman
kita?
Disamping itu, dalam firman Allah surat al-Hujurat ayat 12, “Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),
karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah
seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
Ironis sekali memang, jangankan memaka, mencium baunya saja kita bisa
muntah. Namun pelaku ghibah dengan enjoinya menikmati hidangan bangkai
manusia, sedikit demi sedikit dan terus berulangkali. Andai mereka
‘membuka matanya’, niscaya yang terlihat adalah sajian bangkai.
Mungkinkah mereka meneruskan jamuan itu?
Ghibah menurut saya ada dua macam, secara langsung dan tidak langsung.Membicarakan
orang lain dengan percakapan dan tanpa kehadiran orang yang
dibicarakan, termasuk kategori ghibah pertama. Sedangkan ketika orang
itu mendengarkan ghibah dan dia tidak perpaling maka ia melakukan ghibah
secara tidak langsung. Kok bisa seperi itu? Karena orang yang
mendengarkan perkara yang diharamkan dan dia tahu itu haram, maka diapun
sama seperti orang yang melakukanya, apalagi kalau dia setuju dengan
perbuatan itu.
Ghibah mengakibatkan banyak hal negatif. Diantaranya permusuhan, perselisihan, merenggangkan hubungan, bahkan memutus tali persaudaraan.Yang paling erat hubungan dengan kita sebagai penuntut ilmu, Ghibah berakibat pada kerasnya hati kita. Ilmu
hanya bisa didapatkan oleh hati yang bersih dan ghibah mengotori hati
kita. Lalu bagaimana ilmu dapat kita peroleh, kalau terus berghibah ria?
Solusinya? pertanyaan ini juga masih bergelanyut dalam pikiran saya.
Mungkin, mengatasi ghibah perlu dimulai dari sekarang dan dari diri
sendiri. Mempertebal keimanan kita,keyakinan kita akan janji Allah dan ancama-Nya yang sangat jelas dalam alQuran. Kemudian senantiasa berpikir positif pada orang lain dengan tetap waspada. Bukan berarti terlalu polos menghadapi dunia, hanya mempersempit waktu kita untuk membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar