Senin, 09 November 2015

Bahaya Ghibah Dan Ngrumpi

Tajamnya pisau itu hanya merobek kulit, tapi tajamnya lisan membekaskan luka tak terobati. Begitu besar pengaruh dari ucapan keseharian kita. Tanpa disadari lantaran kata-kata kita membuat banyak lubang dihati orang lain. Dan salah satu yang sering kita jumpai dan eksis dalam peredaranya adalah ghibah. 
Ghibah dalam berbagai referensi kitab ataupun buku-buku yang berada di pasaran mengandung makna yang sama, hanya berbeda ungkapannya saja. Kalau saya ringkas,definisi ghibah adalah membicarakan orang lain dengan sesuatu yang dibenci oleh orang itu apabila mendengarnya. Disamping itu ghibah juga termasuk kategori dhalim walaupun benar adanya. Sementara orang yang dhalim, sepengetahuan saya termasuk golongan orang yang tidak diterima amalnya. Lalu bagaimana dengan kita, masihkah kita melakukanya ? Dari devinisi diatas semua dikembalikan pada pribadi masing-masing. Saya rasa andapun tahu jawabanya. 
ImageHal-hal yang dikatakan ghibah itu mencakup semua aspek. Dalam hal ini memuat ucapan, prilaku, penampilan dan lain-lain.Contohnya seperti ini. “Si A itu pemarah dan pelit”, Kata B ditimpali temannya yang pernah dimarahi tanpa alasan. Nah, anda bisa bayangkan bagaimana sikap A seandainya mendengar percakapan ini. Pastinya tidak mengenakan. Tidak perlu jauh-jauh, ber-andai-andai, apa sikap kita kalau ada orang membicarakan kejelekan kita? Saya kira anda tak mungkin acuh tak acuh atau bahkan apatis. 
Dalam sebuah hadis dijelaskan, ghibah lebih berat dosanya daripada 30 kali melakukan zina. Mengerikan! Kita bayangkan, orang berzina satu kali saja hadnya diranjam hingga mati. Dianggap murtad dan tidak disholati. Lalu bagaimana dengan ghibah? Herannya lagi, sebagian pelaku ghibah adalah para santri yang notabenenya sangat kental dengan syariat agama. Tentunya mereka pernah mendengar bahaya ghibah dan yang lainnya. Namun mengapa bisa seperti itu? Dimana-mana, kapanpun, rasanya ghibah akan menjadi menu utama.
Kalau saja manusia menutupi kejelekan orang lain, didunia Allah akan menutupi kejelekannya diakhirat . Subhanallah! Apa kita kurang yakin dengan janji Allah itu? AlQuran telah menurunkan dengan jelas sekali mengenai hal ini, kalau bukan berpegang pada alQuran, lalu apa pedoman kita?
Disamping itu, dalam firman Allah surat al-Hujurat ayat 12, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” 
Ironis sekali memang, jangankan memaka, mencium baunya saja kita bisa muntah. Namun pelaku ghibah dengan enjoinya menikmati hidangan bangkai manusia, sedikit demi sedikit dan terus berulangkali. Andai mereka ‘membuka matanya’, niscaya yang terlihat adalah sajian bangkai. Mungkinkah mereka meneruskan jamuan itu?

Ghibah menurut saya ada dua macam, secara langsung dan tidak langsung.Membicarakan orang lain dengan percakapan dan tanpa kehadiran orang yang dibicarakan, termasuk kategori ghibah pertama. Sedangkan ketika orang itu mendengarkan ghibah dan dia tidak perpaling maka ia melakukan ghibah secara tidak langsung. Kok bisa seperi itu? Karena orang yang mendengarkan perkara yang diharamkan dan dia tahu itu haram, maka diapun sama seperti orang yang melakukanya, apalagi kalau dia setuju dengan perbuatan itu.
Ghibah mengakibatkan banyak hal negatif. Diantaranya permusuhan, perselisihan, merenggangkan hubungan, bahkan memutus tali persaudaraan.Yang paling erat hubungan dengan kita sebagai penuntut ilmu, Ghibah berakibat pada kerasnya hati kita. Ilmu hanya bisa didapatkan oleh hati yang bersih dan ghibah mengotori hati kita. Lalu bagaimana ilmu dapat kita peroleh, kalau terus berghibah ria?
Solusinya? pertanyaan ini juga masih bergelanyut dalam pikiran saya. Mungkin, mengatasi ghibah perlu dimulai dari sekarang dan dari diri sendiri. Mempertebal keimanan kita,keyakinan kita akan janji Allah dan ancama-Nya yang sangat jelas dalam alQuran. Kemudian senantiasa berpikir positif pada orang lain dengan tetap waspada. Bukan berarti terlalu polos menghadapi dunia, hanya mempersempit waktu kita untuk membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar