Sabtu, 07 November 2015

Adab Wanita Diwaktu Malam Hari

Wanita keluar di malam hari ?

Saat ini kita menjumpai bahwa wanita sering beraktivitas dalam banyak kegiatan ataupun bekerja yang memaksa mereka untuk menyelesaikannya sampai larut malam, apakah ini diperbolehkan oleh syariah? Jawaban: Assalamu`alaikum Wr. Wb. Secara umum dalam pandangan syariat Islam, banyak dalil dan nash yang menunjukkan bahwa para wanita muslimah yang sudah akil baligh tidak diperkenankan untuk keluar rumah lebih dari tiga hari kecuali ditemani oleh mahram atau suaminya. Larangan ini bersifat umum dan jelas berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Tidak halal bagi wanita muslim bepergian lebih dari tiga hari kecuali bersama mahramnya.” Para ulama berbeda pendapat bila tujuannya adalah untuk pergi haji. Dalam masalah mahram bagi wanita dalam pergi haji, ada dua pendapat yang berkembang. Pendapat Pertama: mengharuskan ada mahram secara mutlak. Seorang wanita yang sudah akil baligh tidak diperbolehkan bepergian lebih dari tiga hari kecuali ada suami atau mahram bersamanya. Hal itu sudah ditekankan oleh Rasulullah SAW sejak 14 abad yang lalu dalam sabda beliau. Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan wanita kecuali bila ada mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian kecuali bersama mahramnya. Ada seorang yang berdiri dan bertanya,”Ya Rasulullah SAW, istriku bermaksud pergi haji padahal aku tercatat untuk ikut pergi dalam peperangan tertentu. Rasulullah SAW bersabda, ”Pergilah bersama istrimu untuk haji bersama istrimu.” Hr. Bukhari, Muslim dan Ahmad. Hal itu juga diungkapkan oleh Ibrahim An-Nakha`i ketika seorang wanita bertanya via surat bahwa dia belum pernah menjalankan ibadah haji karena tidak punya mahram yang menemani. Maka Ibrahim An-Nakha`i menjawab bahwa anda termasuk orang yang tidak wajib untuk berhaji. Kewajiban harus adanya mahram di atas adalah sebuah pendapat yang dipegang dalam mazhab Hanafi dan para pendukungnya. Juga pendapat An-Nakha`i, Al-Hasan, At-Tsauri, Ahmad dan Ishaq. Pendapat Kedua: tidak mengharuskan secara mutlak Seroang wanita boleh bepergian untuk haji asal ada mahram atau suami atau ada sejumlah wanita lain yang tsiqah (dipercaya). Ini adalah pendapat yang didukung oleh Imam Asy-Syafi`i ra. Bahkan dalam satu pendapat beliau tidak mengharuskan jumlah wanita yang banyak tapi boleh satu saja wanita yang tsiqah. Bahkan dalam riwayat yang lain seorang wanita boleh pergi haji sendirian tanpa mahram asal kondisinya aman. Namun semua itu hanya berlaku untuk haji atau umrah yang sifatnya wajib. Sedangkan yang sunnah tidak berlaku hal tersebut. Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi yang menyebutkan bahwa suatu ketika akan ada wanita yang pergi haji dari kota Hirah ke Mekkah dalam keadaan aman. Rasulullah SAW bersabda, ”Wahai Adi, bila umurmu panjang wanita di dalam haudaj (tenda di atas punuk unta) bepergian dari kota Hirah hingga tawaf di Ka`bah tidak merasa takut kecuali hanya kepada Allah saja.” (HR. Bukhari) Selain itu pendapat yang membolehkan wanita haji tanpa mahram juga didukung dengan dalil bahwa para istri nabi pun pergi haji di masa Umar setelah diizinkan oleh beliau. Saat itu mereka ditemani Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. (HR. Bukhari). Ibnu Taymiyah sebagaimana yang tertulis dalam kitab Subulus Salam mengatakan bahwa wnaita yang berhaji tanpa mahram, hajinya syah. Begitu juga dengan orang yang belum mampu bila pergi haji maka hajinya syah. Semua itu adalah bila dalam rangka ibadah haji. Para ulama lalu berbeda pendapat pula bila bukan dalam rangka ibadah haji yang wajib atau keuar rumah dalam rangka keperluan lainnya. Namun sebagian ulama ada yang menyebutkan bahwa alasan utama dari tidak diperkenankannya para wanita bepergian jauh adalah masalah keamanan dan fitnah. Sehingga bila tidak ada masalah tersebut, maka alasan larangan itu tidak ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar