Jumat, 30 Oktober 2015

Hukum Laut Internasional

                                                                           BAB 1
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Berdasarkan UNCLOS 1982 Indonesia merupakan Negara Kepulauan. Indonesia memiliki laut yang luas yaitu lebih kurang 5,6 juta km 2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan berbagai potensi sumber daya, terutama perikanan laut yang cukup besar.

Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas dan kurang terjaga sehingga mudah mendatangkan ancaman sengketa batas wilayah dengan negara tetangga. Untuk landas kontinen Negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat di laut sampai dengan kedalaman 200 meter. Batas laut teritorial sejauh 12 mil dari garis dasar lurus dan perbatasan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis dasar laut.

Hal tersebut tidak terlepas dari semakin meningkatnya aktifitas pelayaran di wilayah perairan Indonesia, khususnya di laut teritorial. Peningkatan intensitas pelayaran, sebagian diantaranya kapal barang dan penangkap ikan, tidak menutup kemungkinan terjadinya kecelakaan laut. Selain itu Indonesia  masih banyak mengalami sengketa perbatasan dengan Negara tetangga.

Untuk itu diperlukan peraturan yang baku mengenai hukum laut Indonesia khususnya dilaut teritorial yang sering dilalui oleh kapal asing dan banyak menimbulkan konflik yang berkepanjangan dengan negara tetangga. Kurang seriusnya pemerintah dalam meyelesaikan sengketa perbatasan mengenai laut teritorial telah banyak menyebabkan lepasnya wilayah laut teritorial dari pangkuan Negara Indonesia. Selain itu kurangnya pengawasan terhadap laut teritorial diwilayah Indonesia telah banyak menyebabkan hilangnya kekayaan alam yang terkandung didalamnya terutama  potensi perikanan yang banyak dicuri nelayan asing.

Oleh karena itu diperlukan pemahaman mengenai laut teritorial sehingga pengelolaan dan pengawasan terhadap laut teritorial benar benar bejalan optimal.

  1. Rumusan masalah
  1. Apakah yang dimaksud laut teritorial dan hak lintas damai dilaut teritorial disertai disertai pengaturannya?
  2. Bagaimana cara menentukan garis batas laut teritorial?
  3. Bagaimana pengaturan hukum laut di Indonesia?
  4. Bagaimana pengaturan hukum laut Internasional mengenai laut teritorial ?


BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian laut teritorial
Konsep laut teritorial muncul karena kebutuhan untuk menumpas pembajakan dan untuk mempromosikan pelayaran dan perdagangan antar negara. Prinsip ini mengijinkan negara untuk memperluas yurisdiksinya melebihi batas wilayah pantainya untuk alasan keamanan. Secara konseptual, laut teritorial merupakan perluasan dari wilayah teritorial darat. Sejak Konferensi Den Haag 1930 kemudian Konferensi Hukum Laut 1958, negara-negara pantai mendukung rencana untuk konsep laut teritorial ditetapkan dalam doktrin hukum laut. Kemudian ketentuan laut teritorial dikodifikasikan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS). UNCLOS mengijikan negara pantai untuk menikmati yurisdiksi eksklusif atas tanah dan lapisan tanah dibawahnya sejauh 12 mil laut diukur dari garis dasar sepanjang pantai yang mengelilingi negara tersebut.[1] Pengertian laut teritorial menurut hukum laut Internasional maupun nasional adalah sebagai berikut :

Menurut UNCLOS, laut teritorial adalah garis-garis dasar (garis pangkal / baseline), yang lebarnya 12 mil laut diukur dari garis dasar laut teritorial didefinisikan sebgai laut wilayah yang terletak disisi luar dari garis pangkal.[2]

Yang dimaksud dengan garis dasar disini adalah garis yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut . Negara pantai mempunyai kedaulatan atas laut teritorial, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dimana dalam pelaksanaannya kedaulatan atas laut teritorial ini tunduk pada ketentuan Hukum Internasional.

Menurut Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996, laut teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil yang diukur dari garis pangkal Kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud Pasal 5 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996.

Pasal 5 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 menyebutkan. [3]
1)      Garis pangkal Kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan.
2)      Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus.
3)      Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis -garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang- karang kering terluar dari kepulauan Indonesia.
4)      Panjang garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis -garis pangkal yang mengelilingi Kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.
5)      Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.
6)      Garis pangkal biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis air rendah sepanjang pantai.
7)      Garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang pantai.

Dalam laut teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing. Kapal asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di laut teritorial tidak boleh melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai serta tidak boleh melakukan kegiatan survey atau penelitian, mengganggu sistem komunikasi, melakukan pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada hubungan langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut harus dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya, sedangkan berhenti dan membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan navigasi yang normal atau kerena keadaan memaksa atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan bantuan pada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya.

Terkait dengan pelaksanaan hak lintas damai bagi kapal asing tersebut, Negara pantai berhak membuat peraturan yang berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan kabel dan pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan, pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan dan survei hidrografi dan pencegahan pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.

Di laut teritorial kapal dari semua negara, baik negara berpantai ataupun tidak berpantai, dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial, demikian dinyatakan dalam pasal 17 UNCLOS 1982. Dalam pasal 18 UNCLOS 1982, disebutkan pengertian lintas, berarti suatu navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan : [4]
1)      Melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman, atau
2)      Berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut.
Termasuk dalam pengertian lintas ini harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin, dan mancakup juga berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force majure atau memberi pertolongan kepada orang lain, kapal atau pesawat udara yang dalam keadaan bahaya.

Selanjutnya dalam pasal 19 Konvensi menyatakan, bahwa lintas adalah damai, sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban alat keamanan Negara pantai.sedangkan lintas suatu kapal asing dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau keamanan suatu Negara pantai, apabila kapal tersebut dalam melakukan navigasi di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut :[5]
1)      Setiap ancaman penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran atas Hukum Internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB.
2)      Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun.
3)      Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan infomasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara pantai.
4)      Peluncuran, pendaratan atau penerimaan pesawat udara di atas kapal.
5)      Perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan dan keamanan Negara pantai.
6)      Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan bea cukai dan imigrasi.
7)      Perbuatan pencemaran laut yang disengaja.
8)      Kegiatan perikanan.
9)      Kegiatan riset.
10)  Mengganggu sistem komunikasi.
11)  Kegiatan yang berhubungan langsung dengan lintas.

Pasal 32 UNCLOS memberikan pengecualian bagi kapal perang atau kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial. Pasal 29 UNCLOS memberikan definisi kapal perang yaitu suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memakai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira, yang diangkat oleh pemerintah Negaranya dan namanya terdaftar dinas militer yang tepat atau daftar yang serupa yang diawasi oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.[6]

Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorialnya, kecuali dengan ketentuan Konvensi atau Perundang-undangan yang dibuat sesuai dengan ketentuan Konvensi. Negara pantai juga tidak boleh menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas damai. Lain dari pada itu Negara pantai tidak boleh mengadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata terhadap kapal Negara manapun. Untuk keselamatan pelayaran, Negara pantai harus secepatnya mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang diketahuinya.

Selanjutnya Pasal 25 UNCLOS, mengenai hak perlindungan bagi keamanan Negaranya, Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlakukan untuk mencegah lintas yang tidak damai di laut teritorialnya. Negara pantai juga berhak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal ke perairan pedalaman atau ke persinggahan demikian. Tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata di antara kapal, Negara pantai dapat menangguhkan sementara pada daerah tertentu di laut teritorialnya untuk perlindungan keamanannya termasuk keperluan latihan senjata.

  1. Cara Menentukan Lebar Dan Garis Batas Laut Teritorial
Seperti yang diuraikan diatas bahwa penentuan laut teritorial  suatu Negara pantai dilakukan dengan cara penarikan sejauh 12 mil dari garis pangkal terluar yang merupakan titik pasang surut terendah seperti yang diatur dalam Pasal 5 UNCLOS dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996. Namun UNCLOS dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 memberikan pengecualian terhadap wilayah laut yang memiliki pantai yang saling berhadapan antar Negara pantai.
1)      Pasal 10 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 menyebutkan bahwa :[7]
(1)   Dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain,   kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalah garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik- titik terdekat pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur.
(2)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua Negara menurut suatu cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut.
2)      Pasal 83 UNCLOS 1982, menetapkan bahwa penentuan batas landasan kontinental antar negara dengan pesisir yang berhadapan atau berdekatan akan dilaksanakan melalui perjanjian berdasarkan Hukum Internasional dengan tujuan untuk mencapai suatu penyelesaian yang pantas dan fair.

Berdasarkan peraturan diatas dapat dinyatakan bahwa penentuan batas laut teritorial antara Negara pantai yang memiliki wilayah pantai dapat dilakukan melalui perundingan atau kesepakatan antar kedua belah pihak.

  1. Pengaturan Hukum Laut Indonesia
Secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai terdapat dalam :
a)      Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
b)      Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai kendaraan Air Asing.
c)      Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention of the Law of the Sea 1982.
d)     Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan.
e)      Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia.
f)       Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian dan Perusakan Laut.

Namun melihat peraturan yang ada mengatur tentang laut teritorial di Indonesia masih banyak terdapat berbagai kekurangan diantaranya tidak adanya pengaturan batas laut Indonesia.


  1. Pengaturan Hukum Laut Internasional Mengenai Laut Teritorial Dalam UNCLOS 1982
Dalam UNCLOS, Laut Teritorial diatur dalam :
Bagian 1. Pendahuluan (Pasal 1 sampai Pasal 3)
Bagian 2. Batas Laut Teritorial
Bagian 3. Lintas damai di Laut Teritorial
1)      Sub bagian a.
Peraturan yang berlaku bagi semua kapal (Pasal 17 sampai Pasal 26).
2)      Sub bagian b.
Peraturan yang berlaku bagi kapal dagang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan komersial (Pasal 27 sampai Pasal 28).
3)      Sub bagian c.
Peraturan yang berlaku bagi kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial (Pasal 29 sampai Pasal 32).










BAB 3
KESIMPULAN

Laut teritorial menurut Hukum Laut Internasional maupun nasional adalah sebagai berikut :
Menurut UNCLOS, garis-garis dasar (garis pangkal / baseline), yang lebarnya 12 mil laut diukur dari garis dasar laut teritorial didefinisikan sebagai laut wilayah yang terletak disisi luar dari garis pangkal.

Menurut Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996, laut teritorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil yang diukur dari garis pangkal Kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud Pasal 5 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996.

Dalam laut teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing penentuan laut teritorial  suatu Negara pantai dilakukan dengan cara penarikan sejauh 12 mil dari garis pangkal terluar yang merupakan titik pasang surut terendah seperti yang diatur dalam Pasal 5 UNCLOS dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996.

Secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai terdapat dalam :
a)      Undang-undang Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
b)      Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai kendaraan Air Asing.
c)      Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention of the Law of the Sea 1982.
d)     Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan.
e)      Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia.
f)       Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian dan Perusakan Laut.

Dalam UNCLOS, Laut Teritorial diatur dalam :
Bagian 1. Pendahuluan (Pasal 1 sampai Pasal 3.
Bagian 2. Batas Laut Teritorial
Bagian 3. Lintas damai di laut territorial












DAFTAR PUSTAKA

Kusumaatmadja Mochtar. Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1978

Anonimus. Konvensi PBB tentang Hukum Laut, Direktorat Perjanjian Internasional,
Departemen Luar Negeri, 1983.

Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996

[1] Kusumaatmadja Mochtar. Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1978, hal.173.
[2] Konvensi PBB tentang Hukum Laut, hal.7.

[3] Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996, hal.3.

[4] Konvensi PBB tentang Hukum Laut, Op.cit, hal.15.
[5] I b I d, hal.17.
[6] I b I d, hal.27.

[7] Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996, Op.cit, hal.5.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar