Pengaruh budaya Kerajaan Mataram dan Agama Islam begitu kuat terhadap perkembangan kebudayaan masyarakat Kabupaten Pemalang. Asimilasi dua budaya itu melahirkan budaya Pemalang yang tersimpan secara turun temurun.
Hal ini dapat dilihat pada sikap masyarakat Pemalang melalui karya-karya budaya mereka dalam bentuk benda-benda purbakala, upacara-upacara adat, tari-tarian dan kesenian, kerajinan tangan dan sebagainya.
Baritan
Baritan atau sedekah laut adalah prosesi melarung Jolen ke tengah laut yang dilaksanakan para nelayan sebagai upacara rasa syukur atas hasil usaha menangkap ikan di laut. Sedekah laut diselenggarakan tiap tahun sekali pada Maulud, setiap Selasa atau Jumat Kliwon.
Sebelum upacara pelarungan, diadakan tirakatan bersama yang dihadiri para nelayan, tokoh masyarakat setempat dan para pejabat terkait dengan mengambil lokasi di Tempat Pelelangan Ikan. Pembacaan doa dan tahlil menyertai upacara ini dengan maksud agar pelaksanaan upacara ini dapat berjalan lancar, selamat dan tidak menyimpang dari aturan agama.
Kesenian tradisional ini dikenal masyarakat Pemalang sejak tiga abad silam. Berawal dari peristiwa penyerbuan Batavia oleh laskar Mataram. Pemalang yang saat itu termasuk dalam wilayah Mataram membantu laskar Sultan Agung dengan mengirim prajurit-prajurit terbaiknya. Cara menghasilkan prajurit tangguh saat itu ialah melatih para pemuda dengan ilmu kanuragan dan olah keprajuritan. Caranya setiap latihan olah kanuragan selalu diiringi musik atau tetabuhan.
Kegiatan latihan olah kanuragan yang diiringi musik kini masih terus berlangsung, bahkan kian meluas. Materi yang ditampilkan kian berkembang dan diperkaya berbagai jenis ketangkasan lainnya seperti atraksi kekebalan tubuh dan ketrampilan akrobatik. Olah kanuragan kini telah beralih fungsi menjadi sebuah kegiatan kesenian dan tontonan yang menarik. Inilah cikal bakal lahirnya kesenian krangkeng.
Sintren merupakan kesenian rakyat yang cukup populer di wilayah Karesidenan Pekalongan terutama di kalangan masyarakat pantura.
Sintren konon berasal dari legenda Sularsih-Sulandono. Sulandono adalah putera ari pasangan suami-istri Joko Bahu dan Ratnasari yang menurut kisah adalah pendiri Kota Batang, Pekalongan dan wilayah sekitarnya. Sintren menggambarkan perjalanan hidup dan kesucian seorang gadis yang diperankan seorang gadis belia yang masih suci, belum akil-balik dan tidak pernah terjamah tangan lelaki.
Pertunjukan sintren diawali tembang yang menarik perhatian para penonton yakni “Kukus Gunung”. Berikutnya gadis calon sintren yang mengenakan pakaian biasa dimasukkan ke dalam kurungan dalam keadaan tangan terikat. Setelah si gadis berada dalam kurungan, kemenyan pun dibakar sementara para pelantun lagu mengalunkan tembang “Yu Sintren” yang bertujuan memanggil kekuatan dari luar. Kekuatan inilah yang nantinya mengganti busana calon sintren.
Selanjutnya akan tampak sesosok bidadari yang mengenakan pakaian kebesaran lengkap dengan kacamata hitam, berdiri anggun lalu berienggang-lenggok mengikuti irama gamelan yang dimainkan para penabuh.
Pada zaman dulu, selain sebagai sarana hiburan dan ajang komunikasi muda-mudi untuk cari jodoh, sintren juga digunakan sebagai mediasi untuk meminta turun hujan. Sekarang, sintren pun dipentaskan untuk memeriahkan hari-hari besar nasional, acara hajatan atau pun untuk menyambut tamu resmi.
Jaran kepang atau Kuda Lumping adalah jenis kesenian tradisional yang umumnya dikenal di masyarakat Jawa Tengah. Kesenian ini merupakan jenis permainan yang menyertakan unsur magis karena pada adegan tertentu pemainnya memainkan atraksi yang tidak mungkin dilakukan manusia biasa seperti adegan makan pecahan kaca. Dari sejumlah kesenian Jaran Kepang yang ada di Jawa Tengah, Pemalang mungkin memiliki beberapa kelebihan berupa inovasi seperti adanya adegan cukup unik dimana dua atau tiga orang pemain dijadikan manusia setengah robot yang bisa duduk atau berdiri mematung berjam-jam lamanya.
Kesenian Jaran Kepang biasanya dipentaskan pada acara hajatan, upacara hari besar nasional atau pun menyambut kunjungan tamu resmi.
Kesenian ini mulai dikenal masyarakat Pemalang pada sekitar awal abad 20 yaitu pada saat di tanah air banyak muncul pergerakan kebangsaan. Tokoh-tokoh masyarakat Pemalang saat itu tak mau ketinggalan ikut dalam kancah perjuangan nasional. Dibentuklah perkumpulan bela diri, khususnya pencak silat. Kegiatan bela diri ini ketika itu selalu diiringi rebana dan pukulan bedug serta dikumandangkan pula doa-doa salawat Nabi sehingga terkesan sebagai kegiatan kesenian dan keagamaan.
Setelah kemerdekaan kegiatan ini yang kemudian di -kenalkan dengan nama kuntulan tetap berlangsung dan berubah dari alat perjuangan menjadi sarana hiburan. Kesenian ini biasanya dipentaskan para acara peringatan hari besar nasional, hajatan atau pun menyambut tamu resmi. Kesenian kuntulan tampak menarik karena memadukan jurus-jurus bela diri yang nampak artistik, demonstrasi akrobatik dan keindahan musik rebana dan bedug.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar